Langit kamar berukuran 4×6 meter itu begitu kusam. Titik noda air yang menyerupai gambar pulau nampak di sana. Rumah ini sudah begitu tua. Tak aneh jika bocor sana-sini. Tak layak disebut penampungan buruh migran.Sepuluh orang perempuan rentang usia 20 sampai 30 tahunan menjadi penghuni kamar sumpek ini. Mereka pasrah menanti. Tak mungkin kembali dan akan menjadi bahan olokan orang sekampung. Juga belitan hutang yang menjerat leher tak akan lunas dengan menyerah pada keadaan.
Sudah dua bulan Lia menjadi penghuni tempat pengap dan sumpek ini, tanpa ada kepastian kapan akan diberangkatkan. Janji manis ketika perekrutan mengatakan hanya pelatihan satu bulan sudah terbang ke Saudi Arabia.
Hanya pemanis saja, buktinya? Ingin makan juga susah. Harus puasa perut menahan lapar karena jatah makanan berebutan para penghuni penampungan yang berjumlah hampir seratus orang.
Lia bingung, apa yang harus dilakukan? Pulang kampung tak mungkin. Apa kata orang rumah juga tetangga. Bertahan juga rasanya tak sanggup. Haruskah kabur dari penampungan? Bekal uang ditangan tak ada. Lantas bagaimana bisa bertahan?
'Kang, maafkan aku. Jika saja aku tak berkeras hati untuk pergi, mungkin tak akan seperti ini. Aku tak mungkin pulang sebagai pecundang. Apa kata orang. Hutang kita juga tambah banyak, darimana uang untuk membayarnya?'
Suara gaduh terdengar ketika sebutir air mata juga jatuh membasahi pipi. Suara keras dan derap langkah kaki yang tergesa menaiki anak tangga terdengar nyata. Sebagian dari suara itu mendekat dan sisanya berhenti dilantai bawah.
Para perempuan penghuni bangsal berukuran 4x6m itu hanya diam dan berpelukan. Saling memandang ketakutan. Apakah yang terjadi gerangan?
"Kami aparat kepolisian, angkat tangan!"
Terdengar suara gaduh di lantai bawah. Suara derap sepatu dan teriakan kencang terdengar meminta menyerahkan diri tanpa perlawanan. Apakah itu benar aparat keamanan? Mengapa mereka menggerebek tempat ini?
Ceklek.!
Suara pintu di buka. Seorang polisi wanita membuka pintu dan mengagetkan semua.
Mempersilakan smua penghuni untuk keluar dalam pengamanan. Perempuan penghuni bedeng hanya menurut meski bingung dengan apa yang terjadi.
Para calon pahlawan devisa berkumpul dalam beberapa mobil bak terbuka puluhan orang digelandang ke kantor polisi terdekat.
Air mata yang luruh menjadi isakkan kencang. Seketika bayangan kesuksesan menjadi muram. Tanpa keterangan polisi, mereka tahu jika yayasan yang menjadi tumpuan harapan untuk pergi ke Saudi Arabia bermasalah.
Lia hanya terdiam saat kami digelandang bak pesakitan. Diinterogasi dan dikatakan akan dipulangkan ketempat asal.
'Kemana aku akan pulang? Haruskah aku pulang sebagai pecundang? Menunjukan pada mereka yang mencibir keputusan tentang kegagalan.
Tidak! Aku lebih baik menggelandang daripada pulang kandang. Aku akan bertahan di sini tanpa kembali. Meski aku tahu ibukota lebih kejam dari ibu tiri.'
Seusai interogasi dan segala rupa pendataan yang melelahkan. Semua calon TKW itu dipulangkan ke daerah asal.
Saat orang lain diberangkatkan ke kampung halaman Lia hanya diam mematung.
"Mbak, yakin tidak ingin kembali? Yang lain sudah kami pulangkan ke tempat asal. Mbak mau pergi ke mana?" tanya seorang petugas.
Lia hanya diam. Bingung.
Menarik napas dalam, "Saya akan mencari pekerjaan di sini. Tak akan pulang kampung. Saya tak bisa pulang ke desa."
"Baru mencari? Yakin dapat?" tanya petugas itu meyakinkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepincut Cinta Majikan.
Romanceperjuangan seorang perempuan di Saudi Arabia sebagai TKW. penuh dengan air mata dan kisah cinta yang mengharu biru. Dilema antara cinta yang tertinggal di tanah air dengan cinta baru di tanah perantauan. Bagaimana ia harus memilih antara setia atau...