Pagi itu matahari bersinar begitu indahnya. Iringan burung terbang rendah mengeluarkan bunyi indah. Embun masih bergelayut manja di pucuk dedaunan. Berkerlip laksana permata diterpa sinar. Semua makhluk bumi sibuk dengan segala urusannya.Lalu lalang pengunjung pasar membuat Lia kelelahan. Betapa tidak, toko kelontongan miliknya yang terkenal sebagai toko paling lengkap dan murah menjadi serbuan semua orang.
Siang menjelang. Pengunjung berkurang. Saatnya Lia dan sejumlah pekerja rehat. Mereka akan shalat dan makan siang. Meluruskan tubuh untuk mengendurkan syaraf yang begitu letih. Sekejap memejam mata agar juga menghalau lelah jiwa.
"Lia, aku ambil pesanan, ya, Mana?"
Si cempreng Marni datang. Perempuan bertubuh tambun yang kadang mengingatkan Lia pada sosok kulsum itu masuk toko tanpa permisi. Seolah ini adalah miliknya sendiri. Menanyakan barang pesanan yang tadi diberikan.
"Itu sudah ada di pojokan. Tinggal ambil saja." Mulut Lia monyong menunjuk tumpukan dua kardus di pojokan yang sudah diikat dan dipersiapkan.
Lia menghitung bon belanjaan sahabatnya. Tangan lentiknya lincah memijat angka. Menghitung setiap pesanan yang tertera.
"Lia .... Bisa hentikan dulu itu sebentar? Ayo kita bicara! Dari hati ke hati."
Lia mendongakkan wajahnya. Menatap manik mata Marni. Perempuan tambun dengan baju daster marun itu tampak begitu serius. Berbeda dengan sikap yang biasanya ngocol dan suka bercanda.
"Apa? Serius amat, Mar."
Marni menarik napas seolah dadanya sesak. Sungguh tak tega melihat keadaan sahabat. Air mata meluncur tanda empati yang terwakili oleh lelehan embun di netra.
"Aih, malah nangis. Katakan kenapa? Ada masalah? Kamu butuh bantuan, ayo katakan! Jangan sungkan."
Isakan Marni kian keras. Memeluk Lia begitu erat. Perempuan mantan pekerja devisa itu hanya mematung. Bingung.
"Bukan aku yang butuh bantuan tapi ... kamu. Jujurlah, Lia! Jangan dusta. Bicaralah padaku semua."
"Apa maksudmu, Mar?"
"Ini? Juga yang ini? Jangan bilang kejedot lagi. Luka memar itu karena Mulyadi memukuli lagi, ya, kan?" Marni menunjuk luka memar di bagian tubuh Lia.
Lia membuang muka. Berharap luka lebam yang ada sirna. Menghindar tatapan Marni yang meminta jawaban. Luka sayatan di dada kian menganga. Lia terima semua mungkin sudah suratan diri. Namun, ketika ada yang menanyakan perihal luka itu. Dadanya sakit. Kelebat bayangan kejadian tak menyenangkan seolah menari dalam ingatan.
Tak ingin mengeluh. Anggaplah ini penebus dosa karena membagi cinta. Masih juga Azis bertahta meski tanpa singasana. Merajai kalbu yang terbagi dua. Rasanya untuk Mulyadi mulai sirna seiring sikap yang berubah. Lia bertahan karena sadar jika pernikahan tak hanya sekedar cinta tapi pengabdian.
Mencintai Azis sebagai pilihan hati, tapi mencintai Mulyadi adalah kewajiban karena itu cinta pilihan Tuhan.
"Tak perlu jawab. Aku tahu semua. Kurang ajar Mulyadi itu. Sudah cacat masih saja berulah. Kurang apa dirimu coba. Tak tahu diuntung," oceh Marni geram.
Angan Lia terbang ke tiga tahun silam. Hari dimana berita kecelakaan telah membuatnya luka. Mulyadi terbaring tiada daya.
Koma beberapa hari karena luka berat saat tabrakan dengan beruntun. Rasanya langit runtuh hari itu. Kenyataan meremukan harapan. Mulyadi memang Selamat tapi harus merelakan kedua kakinya di amputasi.
Derita tak hanya sampai di situ. Mul juga terluka di bagian tulang ekornya. Itu membuatnya menjadi seorang penderita impotensi.
Mulyadi hidup tapi tanpa jiwa. Masih berdiri di atas bumi tapi sudah kehilangan harapan dan masa depan. Kaki boleh di amputasi dan bisa di ganti memakai kaki palsu, tapi kehilangan kejantanan adalah pukulan paling mematikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepincut Cinta Majikan.
Romanceperjuangan seorang perempuan di Saudi Arabia sebagai TKW. penuh dengan air mata dan kisah cinta yang mengharu biru. Dilema antara cinta yang tertinggal di tanah air dengan cinta baru di tanah perantauan. Bagaimana ia harus memilih antara setia atau...