Pasrah

504 15 0
                                    


Di musim dingin dengan angin gurun yang begitu kencang. Akad Fatma dan Azis terlaksana. Mereka sah secara agama dan negara. Fatma menolak resepsi, cukup akad sebagai ikrar. Biarlah sebuah berita di koran bercerita tentang penyatuan dua keluarga bangsawan.

Semua kolega datang mengucap selamat. Bukan seperti akad biasa yang sepi pendatang. Hiruk pikuk orang datang menghadirinya. Maklumlah yang empunya acara orang ternama.

Dalam hingar bingar perayaan. Di pojok kamar nan pengap Lia terduduk lesu. Menatap langit kamar dan selembar poto bersama Mulyadi dan Vanty. Senyum mereka yang hadir dalam selembar kertas pengganti gambar wajah seolah menjadi pelipur lara. Pengobat luka.

"Sayang, jangan banyak menangis. Yang tabah di sana. Kita terpisah raga tapi tetap nyata dalam rasa. Jangan merasa sendiri. Aku selalu bersamamu. Ingat itu!"

Suara Mulyadi yang tengah memeluk erat di batas kampung dan mengelus pucuk kepala nyata di telinga. Padahal itu sudah lama terjadi. Rasanya nyata dan kini bersamanya.

"Ibu, jaga diri, kami merindukanmu, aku dan ayah akan menunggu ibu kembali."

Tangan mungil Vanty membelai wajah dan menyeka air mata yang tumpah. Lagi membuat Lia terisak. Luka.

Aku menghianati kepercayaan mereka. Mengotori janji suci cinta yang telah diikrarkan dulu. Mengapa Tuhan harus mempertemukan dengan Azis dan jatuh cinta tanpa bisa ditepis. Tak mampu di buang. Tak kuasa di hancurkan. Meski sadar diri tak mungkin bisa dipersatukan.

Ada banyak yang luka. Hati yang merana. Mungkin sakit yang kini mendera tak seberapa dibandingkan sayatan yang ditimbulkan dari luka bernanah keluarga tercinta yang telah di hianati.

"Ini saatnya kembali menata hati, Lia. Kembali pada kenyataan. Sadarlah! Semua hanya sebatas impian. Angan yang tak mungkin jadi nyata."

Tangan Atun membelai menjadi sedikit penawar hati yang terbakar. Setidaknya ada seseorang yang tengah merasakan derita yang sama seperti dirinya. Terluka diatas bahagia sang majikan.

                            *****

Malam telah beringsut menuju dini hari. Fatma gelisah sendiri. Sang mempelai lelaki duduk di meja kerja. Mengutak-atik laptop tanpa memperdulikan. Sakit hati tiada tertahan.

Pekerjaan dijadikan sebagai alasan. Padahal Lia tahu alasan sesungguhnya. Raga Azis memang tengah didekatnya tapi hati bersanding bersama sang pelayan. Mana mungkin bisa menghabiskan malam bersama jika dalam angan Lia bertahta.

Mencoba menutup mata meski tak bisa. Fatma berpura-pura memejamkan mata. Terlalu sakit terlihat menyedihkan berguling sendiri di malam pengantin di ranjang king size. Lebih baik terlihat terlelap menyembunyikan diri dari getirnya hati. Daripada membuka mata dan menyaksikan sang suami yang gelisah.

Lingkaran penunjuk waktu di dinding berdentang dua kali. Ngantuk masih juga enggan menghampiri. Fatma membuka mata perlahan. Suara kaki Azis yang melangkah menjauhi kamar membuat jantungnya berhenti berdetak sesaat.

Hendak kemanakah sang suami di dini hari? Bukan tidur bersama malah melayap entah kemana.

Perlahan menguntit dengan berjinjit. Tak ingin Azis mengetahui. Sungguh penasaran hendak kemana suaminya.

Sepasang mata menyibak tirai kamar. Melihat dengan senyum getir. Sudah tahu tujuan lelaki yang diikuti Fatma. Atap rumah. Entah mengapa mensyukuri keadaan itu. Setidaknya tak hanya dirinya yang merasakan. Kini Fatma berada di posisinya. Kulsum mengintip dengan mata berkaca. Masih juga Lia bertahta. Mengabaikan mempelai pada malam pernikahan. 

                             *****

Hamparan bintang di langit yang begitu terang menemani Lia. Memandang angkasa yang luas adalah obat rindu pada mereka. Keluarga yang terserak jarak pemisah.

Kepincut Cinta Majikan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang