Kehilangan

476 20 2
                                    

Kondisi Mulyadi sekarang semakin drop. Gula darahnya kian tak terkendali. Suntikan insulin harus di dapatkan setiap hari. Lukanya kian parah, basah dan bernanah. Lia selalu telaten merawat tanpa jijik dan letih.

Membersihkan luka itu tak pernah merasa mual apalagi kesal. Semua dilakukan karena Lillahi ta'ala.

"Bu, sudah nanti juga keluar air dan nanah lagi. Bau dan jijik. Jangan terlalu bersih."

"Harus bersih, Yah. Nanti kuman akan cepat berkembang jika tak bersih. Aku nggak jijik, Yah. Sudah biasa."

Mulyadi sungguh bahagia ketika cinta dan perhatian Lia begitu besar. Tak memandang dirinya sebagai makhluk yang tak berguna. Mul tak lagi bisa menafkahi lahir dan batin. Lia tidak mengeluh atau hengkang. Selalu merawat dengan penuh kasih sayang.

Apakah Lia tidak merindukan Tuan. Tidak, tak pernah Lia melupakannya. Namanya selalu teriring dalam setiap sujud panjangnya. Bukan meminta untuk bersama tapi memohon kebaikan dan kesehatan.

Dalam isak Lia berdo'a memohon Allah mengampuni dosa. Masih saja menyimpan Tuan dalam hati. Semoga Allah tak menghisab rasanya. Bukan kian mengikis rasa dan menghilang Tuan masih bertahta dalam jiwa seiring cinta pada Mulyadi.

Lia simpan rapat namanya di hati. Tak pernah surut Lia berusaha berbakti pada Mulyadi. Inilah ladang amalnya. Mulyadi takdirnya. Tak pernah terbersit meninggalkan atau membuang.

"Lia, " suara lemah Mulyadi memanggil istrinya.

Sudah tiga hari tubuhnya kian melemah. Hanya di rawat di rumah. setiap hari perawat datang memberi suntikan insulin. Mul enggan harus diam menghabiskan sisa umur di kamar perawatan. Lelah. Selalu menghirup aroma obat dan suasana rumah sakit.

Masalah biaya, kini Lia telah berhasil sukses dengan toko megah di pasar. Usaha keras serta doa telah mengubah kios kecil menjadi toko ternama. Lia tidak sendiri. Beberapa pegawai kepercayaan sudah membantu. Sehingga bisa leluasa mengurus sang suami. Toko juga berjalan tanpa henti.

"Ya kang, ada apa ? Akang mau sesuatu? Bilang saja."

"Aku sudah tak kuat lagi rasanya. Aku minta maaf jika selalu merepotkan. Terima kasih atas perhatiannya, cinta, pengorbanan, ketulusan kamu, sayang." Air mata Mulyadi merembes di pipi.

Wajahnya sangat tirus. Hanya kulit berbalut tulang. Tak ada cahaya. Tatapannya kosong. Raganya telah lelah menanggung beban.

"Jangan bilang begit, Kang, kamu adalah suamiku. Imamku dunia akhirat. Aku ikhlas merawatmu."

Mulyadi tersenyum. Sungguh Lia begitu cantik dan berhati mulia.  Bukan pergi meninggalkan untuk mencari pengganti malah tersiksa bersama orang tak berguna.

"Jika aku pergi nanti, kamu harus menikah lagi. Kamu masih muda. Menikahlah dengan orang yang benar-benar mencintai kamu juga cinta kamu," ucapnya dengan napas memburu.

"Akang jangan bilang begitu, Akang akan sembuh lagi."

Lia menangis. Tak kuasa membayangkan jika harus di tinggalkan Mulyadi. Memang Mulyadi seolah menjadi beban pundaknya. Bagai mayat hidup. Tapi, setidaknya masih bersamanya. Masih bisa memeluknya. Vanty juga tidak menjadi yatim. Lia juga bukan janda.

"Aku tak tahu umurku akan berapa lama lagi. Aku ingin kamu mendapatkan kebahagian yang tak bisa diberi ketika bersamaku. Aku berdo'a akan datang seseorang yang bisa menjadikanmu ratu dalam hatinya. Menjadikanmu benar- benar bahagia. Tidak seperti orang cacat tak berguna ini"

"Hentikan, Kang. Jangan bilang apa- apa lagi. Istirahatlah. Supaya pikiranmu tidak meracau ke mana- mana."

Lia menyelimuti dan mengelus pelan Mulyadi yang meringis menahan sakit. Lelaki yang berbadan begitu kurus dan tampak lebih tua  dari usia perlahan menutup mata. Napasnya begitu pelan. Lia khawatir tapi masih melihat separuh kakinya bisa bergerak. Hingga menyakinkan diri jika Mul tak apa-apa.

Kepincut Cinta Majikan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang