Waktu berlalu. Masa berganti. Sudah dua tahun lamanya pernikahan Fatma dan Azis terlaksana. Artinya sudah hampir tiga tahun juga Lia berada di Saudi Arabia. Semua tampak normal. Berjalan seperti rumah tangga pada umumnya.Hanya Azis dan Fatma yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka pendam semua dalam diam. Semua hak diberikan pada Fatma. Semua kewajiban ditunaikan, kecuali .... Nafkah batin Fatma.
Fatma tak mengeluh meski hatinya yakin berpeluh. Tak menunjukan kekecewaan walau jiwanya lara memendam. Semua Fatma tutupi dengan sempurna pengabdian. Azis merasakan pengabdian tulus meski tak berbalas penghargaan.
Merasakan betul cinta sejati Fatma yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Tulus tanpa harus meminta penebus. Kenyataan itu membuat Azis merasa berdosa. Apalah daya cinta tak jua datang menyapa.
Dalam hati telah ada satu nama yang terpatri. Aulia takan terganti. Bukan tak berusaha. Tak gigih mencoba, tapi nyatanya Lia tetap yang bertahta. Entah bila masa nanti. Namanya akan terganti.
Malam larut. Saat kembali ke pembaringan. Melepaskan lelah dan penat dari rutinitas seharian. Azis dan Fatma duduk di ranjang dan bersiap menuju lelap. Azis menatap Fatma minta pengampunan.
"Maafkan aku ..."
"Kenapa minta maaf, Azis,. Maaf jika lancang memanggil namamu demikian. Itu panggilan sayang untukmu. Seperti Siti Aisyah memanggil Nabi Muhammad dengan namanya"
Azis menyungging senyum tanda tak keberatan. Mengelus pucuk kepala istrinya. Sejenak Fatma menutup mata. Menjalar rasa hangat meski Azis tak mendekap. Andai saja elusan itu berujung penyatuan raga. Ah, tak mungkin. Azis masih enggan untuk melanjutkan. Hanya sebatas itu yang mampu dilakukan.
Azis menarik napas berat. Membuang beban di dada.
"Aku belum bisa memenuhi kewajiban sebagai suami, aku belum sanggup memberi nafkah batin padamu"
Fatma tersenyum. Baginya ini sudah merupakan kemajuan besar. Azis sudah mau banyak bicara dan agak terbuka. Tak kaku ketika bersamanya.
"Aku tak marah, Azis. Aku akan menunggu. Aku tahu ada orang lain dalam hatimu," jawab Fatma pasrah. Ada rasa kecewa dan sedih dari nada bicaranya.
Azis menatap Fatma kasihan. Hatinya bagai di hujam sembilu. Sakit. Mengapa tak bisa mencinta orang sebaik Fatma. Tak mampu menyimpan namanya dalam sukma.
"Pasti Kulsum sudah bicara banyak, perlahan aku akan mencoba menerima dirimu, takdir ini, hanya tolong beri waktu. Dia akan pulang kurang dari empat bulan. Aku masih belum bisa melupakan dan menerima kenyataan jika kami tak bisa bersama. Masih saja mencintai dan mengharapkannya."
Fatma memegang dada. Sakit. Perih. Bak pedang menghujam kepingan merah. Tak bisakah sang suami menyimpannya dalam sudut hati? Membiarkan namanya jadi penghuni?
Tak sanggup Tuan menatap mata Fatma. Matanya sibuk melihat dan mencari salah satu bintang di langit yang di harapkan datang menyapa. Sayang, terhalang awan hitam. Yang terlihat hanya hitam kelam.
"In syaa Allah, aku yakin satu hari akan ada tempat untukku dalam sudut hatimu. Aku lelah ingin tidur. Maaf, aku tidur duluan."
Fatma berbaring dan menutup matanya. Seolah telah terbang ke alam mimpi. Padahal tak ada kantuk sama sekali. Hanya sekedar meredam gejolak hati. Bersembunyi dari lara yang melanda.
*****
Di atas atap rumah, Lia kembali melihat langit. Hitam kelam. Atap kembali menjadi tempat pengasingan diri. Malam ini kasur menjadi setumpuk duri yang menusuk kulit. Hingga harus segera di tinggalkan.
Memilih melihat bintang yang bertaburan di angkasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepincut Cinta Majikan.
Romanceperjuangan seorang perempuan di Saudi Arabia sebagai TKW. penuh dengan air mata dan kisah cinta yang mengharu biru. Dilema antara cinta yang tertinggal di tanah air dengan cinta baru di tanah perantauan. Bagaimana ia harus memilih antara setia atau...