Senyum sumringah Mulyadi menyertai kesembuhan Lia. Betapa bahagia lelaki jangkung berhidung mancung dan berkulit putih itu saat membawa serta Lia pulang ke rumah.
Wajah Lia terlihat segar setelah hampir 10 hari lamanya berada di rumah sakit.Tak dapat dipungkiri Mulyadi lelah menanti. Bertahun lamanya merindukan sentuhan Lia. Belaian kasih sayang seorang istri. Bertahan dari godaan setiap perempuan yang mencari simpati.
Malam ini hasrat ingin memiliki kembali lagi seiring raga sang istri yang bugar lagi. Senyuman terukir tanda pengharapan yang ingin segera tertunaikan.
Tak jarang yang merayu. Tak sedikit yang terang-terangan menggoda. Apalagi kini Mulyadi termasuk keluarga berharta. Paras rupa tak minta. Menjadi pria dengan jajaran tampang yang rupawan. Menjadi bekal menggoda iman perempuan. Namun, Mulyadi tetap teguh pendirian.
Semua uang yang Lia kirim tak sedikitpun digunakan untuk berpoya-poya. Mulyadi hanya mengunakan semestinya. Bahkan dijadikan modal membuka usaha. Sehingga hasil keringat istri bukan lenyap tapi kian berlipat. Hingga menjadi orang dengan cap orang terpandang sekarang. Berada dalam jajaran pria kaya satu desa.
Mulyadi tahu diri dan begitu menghargai peluh dan air mata sang istri yang tumpah mencari rejeki di luar negeri. Tak pongah karena sejatinya harta itu berasal dari perasan keringat serta air mata sang istri di rantau orang. Bukan hasil jerih payah sendiri. Lia mendominasi.
Malam menjelang.
Dengan debar di dalam dada. Lia diam mematung dan bingung saat Mulyadi datang menghampiri. Lelaki yang belasan tahun menyertai itu datang dengan wajah penuh harap.
Lia teramat mengerti maksud senyuman Mulyadi. Sudah bertahun lamanya tak pernah mencumbu mesra sang istri. Berjalan dengan penuh harap rindu bertahun akan bersambut. Dahaga lama akan tertunaikan.
Mulyadi memangkas jarak perlahan dengan harapan. Membayangkan indahnya menghabiskan malam penuh gairah. Sehingga bahagianya membuncah.
Ketika jarak jadi pemisah Mulyadi hanya bisa puasa. Menahan hasrat manusia dewasa dari segala duga dan coba. Jajan tak jadi pilihan. Menikah lagi, tak jadi solusi. Mulyadi tetap setia menanti hingga Lia akan pulang dan memberikan sebuah kepasrahan dan pengabdian. Menikmati hari dengan sebuah kehalalan.
Seringai Mulyadi membuat Lia gemetaran. Tangannya meremas seprei hingga berbekas. Air mata luruh. Denyut perih hati ditoreh lagi. Kali ini bukan bayangan Tuan Azis yang hadir.
Tuan Kusuma yang terlintas. Bandot tua itu telah memangsa dengan ganas. Air bening itu berubah jadi isakan. Lelaki tua yang melahapnya tanpa sisa terbayang di mata. Menghadirkan benci yang menggelora dalam rongga dada.
Malam durjana yang merenggut harga itu tergambar jelas dalam benak. Bajingan itu tak berbelas merobek pakaian dan menggagahinya. Tanpa pernah mengingat dosa. Air mata Lia kala itu malah menjadi bahan tawanya. Manusia biadab tanpa belas kasihan. Pemangsa yang teramat buas.
Betapa mulia cintanya dan Azis. Meski hadir tak semestinya. Datang tak seharusnya. Jangankan untuk berbuat nista saling menatap wajah juga tak kuasa. Saling menunduk pandang meski jarak tak pernah memisahkan.
Azis dan Lia sama memendam rasa, namun pasrah pada takdir yang Maha kuasa. Tak ingin berbuat lebih dari sekedar membagi hati. Berpegang tangan tak mereka lakukan. Apalagi harus berpelukan atau zinah Farji.
Bulir itu kian deras mengalir. Hingga menjadi tangis memilukan. Hasrat Mulyadi lenyap. Gelora menghilang seketika. Rasa kecewa beradu menjadi kekhawatiran. Ada apakah gerangan? Mengapa Lia takut dibelai penuh kasih sayang. Enggan membalas hasrat yang selama ini dipendam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepincut Cinta Majikan.
Romanceperjuangan seorang perempuan di Saudi Arabia sebagai TKW. penuh dengan air mata dan kisah cinta yang mengharu biru. Dilema antara cinta yang tertinggal di tanah air dengan cinta baru di tanah perantauan. Bagaimana ia harus memilih antara setia atau...