Kisah Silam.

542 15 0
                                    

Secangkir kopi yang sudah tak beruap lagi, cenderung mengembun karena lama tak dijamah si pemesan. Snack yang di meja juga tak tersentuh oleh si empunya.

Dua sahabat yang lama terpisah begitu asyik bercerita. Mereka bercengkrama di sebuah kafe yang berada di rumah sakit.

Kulsum berkeluh kesah tentang rumah tangganya. Berurai air mata saat harus mengatakan cinta sang suami tak utuh lagi. Fatma hanya menyimak tanpa berpihak.

Fatma orang yang selalu ingin tahu sesuatu dari dua sisi tanpa menghakimi. Tak ingin memberi nilai tanpa tahu yang benar.

Kasak-kusuk sikap Kulsum pada Noura yang kejam sudah sampai di kupingnya. Hanya menyimpan untuk membandingkan. Bukan haknya menilai karena bukan siapa-siapa.

"Mungkin ada yang salah dengan sikapmu, Kulsum. Seharusnya tempatmu di hati Noura tak terganti. Dia adalah anakmu meski tak terlahir dari rahimmu. Azis juga wajar marah jika ternyata Noura malah dekat dengan pengasuh bukan ibunya. Bukan membela mungkin ada yang salah diantara kalian."

Kulsum membelalakkan mata. Heran, Fatma bukannya membela. Seperti menyalahkan dirinya.

"Aku menempatkan diri menjadi Azis dan memposisikan sebagai Noura. Jangan tersinggung. Targedi yang terjadi diantara kalian yang membuatku berpikir begitu. Noura sakit karena kelalaian. Azis tersiram kopi bukanlah hal kebetulan."

Kulsum menundukkan kepala. Fatma benar adanya. Kulsum menuai yang telah ditanam.

"Aku cemburu. Azis bukan kali pertama saja mencintai pelayan. Kedua kalinya dia melabuhkan hati pada pelayan kami. Aku murka. Bagaimana dia bisa mengulang kesalahan. Padahal aku sudah menyuruhnya mencari perempuan untuk maduku. Dia menolak halus tapi malah memilih pelayan kami sebagai perempuan maduku," ujar Kulsum berdusta.

Kulsum tak pernah mengijinkan Azis berpoligami. Bahkan hanya memandang yang lain pun dilarang. Itulah sebabnya dia akan murka jika ada perempuan dalam rumah tanpa penutup muka.

"Pelayan juga manusia, mengapa kamu tak merestui?" selidik Fatma.

"Kamu tahu siapa kami? Bagaimana kedudukan kami di negeri ini? Nasab kami harus jelas. Jadi apa salah jika aku memilih yang sekufu untuk menjadi ibu dari anak-anak keturunan keluarga?"

Fatma yang berpikiran terbuka mengelus dada. Masih saja kasta harus bicara. Padahal ini bukan jaman jahiliyah. Dimana masih ada predikat budak dan majikan.

Bukankah semua manusia sama dihadapan Allah? Heran masih ada pemikiran kuno di jaman modern.

"Aku rela dipoligami jika itu dengan orang yang tepat. Sederajat. Seperti kamu ...."

Ucapan terakhir membuat Fatma tersedak. Air minum yang tengah di teguk berhambur keluar.

Kulsum tersenyum. Tembakan tepat sasaran. Benar sesuai dugaan. Fatma memendam rasa. Ini merupakan jalan terbaik dibanding harus menjadi rival sang pelayan murahan.

"Apa maksudmu?"

"Ayolah Fatma, aku ini sahabat kamu. Nggak usah sungkan. Aku lihat sorot cinta dalam pandangan kamu pada Azis. Kamu mencintai suamiku."

"Kulsum?" Fatma tampak tertunduk malu.

"Tak usah malu. Kita bersahabat sudah sangat lama. Aku tahu kamu, Fatma. Maka tak usah kamu merahasiakan itu."

"Maaf, waktu habis. Harus dinas lagi. Aku pergi, ya."

Fatma menyambar tas dan segera pergi menghindar. Senyum kemenangan tersungging di bibir Kulsum. Langkah yang tepat.

Akan kusatukan Azis dan Fatma demi menendang Lia. Azis takan menolak demi seorang pewaris. Meski tak ingin pasti anggota keluarga lain akan mendukungku. Batinnya.

                            *****

Langit begitu cerah di malam ini. Taburan binatang menghias angkasa. Ditemani desir angin gurun yang menerpa. Lia berdiri di atap rumah sang majikan.

Tempat ini adalah tempat pavorit. Atap tanpa ada pengawasan kamera CCTV. Bisa menghirup udara malam dalam kebebasan. Merentang tangan seakan menangkap gemintang.

Menyapa mereka yang jauh di negeri sendiri. Masih dalam kolong langit yang sama. Bulan yang satu dan udara yang serupa tanpa beda. Hanya jarak jadi pemisah. Biarlah. Cukup melihat angkasa luas dan menyebut nama mereka.

"Kang, apa kabarmu? Aku ingin pulang. Kamu benar, langkahku menjauh pergi salah. Aku ingin kembali ke tanah air bersamamu. Aku merindukanmu." Lirihnya.

Tetesan air mata mengalir di pipi. Hatinya koyak. Mengapa harus terluka begini. Merana karena cinta yang terbelah. Hati terbagi dua sisi antara Yadi sang suami dan Tuan yang sudah berapa hari dirawat di rumah sakit.

Merindukan manik mata coklat itu. Tubuh kekar berperawakan tinggi besar. Begitu kokoh jika dijadikan tempat bersandar.

Lia merindukan Yadi juga merindukan sang majikan. Mereka ada di hati dalam ruang tersendiri.

"Jika ingin menangis, menangislah. Jangan ditahan. Luapkan segala bebanmu, Lia," bisik Atun.

Sahabatnya itu berdiri di samping kanannya. Menepuk pundak. Menegarkan.

Lia tersenyum hambar. Atun bagai buku diary baginya. Tempat nyaman untuk berbagi. Senyum itu berubah menjadi isakan. Jadi tangis keras di tengah malam.

Atun menghirup napas dalam. Membuang beban dalam hatinya. Lancar bercerita tentang sahabatnya.

Nurul gadis ayu dari kota Indramayu. Hadir sebagai pelayan seperti dirinya. Gadis itu sudah menjadi incaran hati pemuda pemilik rumah. Kasta yang berbeda jadi pemisah. Azis dan Nurul saling cinta dalam diam.

Tuan harus menikahi Kulsum dengan alasan maruah. Perjodohan dua keluarga tak terelakan.

Takdir akhirnya mengantarkan pada kisah bahagia. Kulsum ternyata mandul. Hingga akhirnya Azis menyatakan perasaan cinta pada Nurul pada keluarga.

Gayung bersambut. Hubungan mereka mendapatkan restu. Nurul menikah dan menjadi istri muda Tuan Azis. Bertahan meski harus mendapatkan perlakuan yang kejam dari madunya.

Suatu hari saat Tuan berada di Amerika, Kulsum membuat rekayasa jika Nurul telah menduakan Azis dengan pelayan dari Qatar. Nurul di usir tanpa bisa membela diri. Terlalu kuat barang bukti.

Meninggalkan rumah dan Noura yang masih bayi. Sandiwara dan Kong kalikong membuat Nurul harus pulang.

Azis hanya bisa diam. Semua bukti memberatkan. Suatu hari semua terkuak. Terlambat. Nurul sudah berpulang. Depresi hingga meninggal dalam keadaan sengsara. Depresi dan bunuh diri.

Sejak saat itu Azis hidup bak zombi. Hidup tapi mati. Sering mematung sendiri dan jarang bisa tersenyum. Raganya masih ada tapi jiwanya terkubur bersama jasad Nurul.

"Aku tak ingin kamu bernasib serupa. Jaga sikapmu, Lia. Jangan sampai kamu jadi korban berikutnya."

"Aku salah apa? Malam itu hanya menolong Noura. Membawa ke rumah sakit. Apa salah jika aku melakukan hal itu?"

Atun menghela napas.

"Salahmu karena cantik. Tuan juga menaruh rasa padamu. Itu menurut nyonya."

"Aku takan mungkin bersama Tuan, Tun. Ada suami dan anak yang menungguku di Indonesia. Mereka adalah cintaku dan hidupku."

"Aku tahu, tapi pesona Tuan tak bisa dtampikkan. Kamu juga mencintainya. Seperti aku juga," jawab  Atun lirih.

"Atun?"

"Ya, Lia, aku mencintai Tuan. Sehingga bolak-balik aku kembali ke tanah haram ini demi bisa melihatnya meski tak memiliki. Aku janda tanpa anak dan cinta mati padanya. Biarlah hanya kusimpan tanpa perlu balasan. Bisa dekat dan melihat sudah cukup bagiku," ujar Atun dengan menerawang.

Tenggorokan Lia tercekat. Benar adanya cinta itu buta. Tanpa logika. Masih bertahan meski semua hanya kemustahilan. Ternyata aku normal saja jika jatuh hati pada Tuan Azis. Meski rasa ini tak seharusnya.

Bagaimana lanjutan kisah. Nantikan part depan.

Kepincut Cinta Majikan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang