Felix membawa Lya ke Makam Zoya. Mereka juga membawa Lily putih untuk Zoya. Lya tak lagi menangis sesampainya di Makam Zoya. Dia berfikir untuk tetap tegar dihadapan Zoya.
Kini Lya pun hanya menatap kosong pada Foto Zoya.
"Bagaimana dia meninggal? Apa dia sakit?"Felix menghela nafas, menatap sendu sekeliling makam hingga tatapan itu berlabuh pada sebuah Foto sama yang Ditatapi oleh Lya.
"Ada sebuah kecelakaan, dan..." Jawab Felix menunduk.
"Kenapa dia tak berhati-hati? Dia tak perlu terburu-buru. Aku akan menunggunya meski harus Sepuluh atau duapuluh tahun lagi. Kenapa Kakak tak berhati-hati?" Ujar Lya dikala air mata kembali menetes di Pipinya.
Felix melihati Lya diam. Dia hanya merasa, dia bukan lagi satu-satunya orang yang ditinggalkan janji oleh Zoya. Juga bukan lagi satu-satunya orang yang bertanya pada Zoya, orang yang telah tiada.
Felix lalu mengantar Lya pulang. Dia juga membawa serta Sepeda Lya.
"Apa aku, boleh mengunjungi makamnya sesekali?" Tanya Lya dengan mata masih berkaca.
"Tentu, kamu udah jadi seorang adik baginya kan"
Felix lalu pamit pergi. Lya pun menunggu mobil Felix tak terlihat lagi sebelum masuk ke rumahnya.
Dan itulah, percakapan terakhir mereka. Mereka tak lagi bertemu hingga Semester baru dimulai. Saat libur sekolah telah usai dan seluruh Siswa kembali melakukam rutinitas pelajarnya.
Lya bangun pukul 04.30 hari ini. Sebuah awal yang sangat baik dihari pertama semester baru, dia tak bangun kesiangan.
Lya membuka lemari bajunya untuk mengambil seragam sekolah. Tubuhnya diam kaku setelah melihat Kaos pemberian Felix saat berlibur dulu. Pikirannya kembali teringat Felix.
Sebenarnya sejak hari itu, Lya selalu memikirkan Felix. Tentang berbagai hal. Seperti bagaimana Felix mengenal Zoya, atau apa yang dilakukan Felix sehingga mereka tak lagi bertemu sejak hari itu.
"Yah, lagi pula kita akan bertemu disekolah nanti" itulah akhir perdebatan panjang diotak Lya.
Tidak, masih belum. Setelah itu Lya akan berfikir apa yang akan dilakukannya nanti saat bertemu Felix disekolah.
Berpura-pura tak mengenalnya?
'Tapi kita kan udah temenan. Nanti aku dikira sombong, kaya waktu pertama ketemu lagi itu'
Lya pun jadi pusing bukan main. Dia pun memaki dirinya sendiri. Hal-hal kecil seperti ini saja membuatnya goyah.
Keputusan final pun ditentukan.
"Hindari tatapan mata dan jangan dulu menyapa jika bukan dia duluan yang menyapa"Dengan sepenuh tekadnya mengawali awal ya-- maksudnya melanjutkan hidup yang indah, Lya mangayuh perdal sepedanya menuju sekolah.
Sesampainya dikelas, hampir tak ada orang yang menyahut salamnya. Semua disibukkan dengan obrolan mereka termasuk Citra sekalipun.
"Citra" sapa Lya. Citra menengok dan langsung memeluk Lya.
"Lyaaa udah sampe juga kamu... Naik sepeda ya?" Lya tersenyum mengiyakan.
Citra lalu mengajak Lya duduk mendengar cerita liburan Marsha. Salah satu dari jejeran anak elit MHS.
"Marsha beli gelang ini pas dia di Paris bareng Mamanya. Semua anak cewek dikelas ini dikasih. Ini punya kamu" kata Citra menyerahkan gelang cantik berkilau itu.
Mata Lya berbinar, gelang itu sangat indah. Dia lalu berterimakasih pada Marsha dengan lantang sampai terdengar olehnya. Marsha hanya tersenyum kecil lalu kembali mengobrol dengan yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Youth
JugendliteraturZelda Alyana hanya ingin segera lulus SMP dan memulai kehidupan barunya. Ia ingin terlepas dari masa SMP nya yang penuh dengan derita akibat kejahilan teman-teman sekelasnya. Terutama terhadap Felix Aras Mikaela, pelopor Gerakan Mengganggu Alyana. S...