🌸 Chapter 8

5.9K 596 70
                                    


***



Syukurlah Paman Moon bisa mengerti penjelasan Jaemin, meskipun dengan terbata-bata dia berbohong bahwa dia menginap di rumah teman kantornya semalam. Jaemin tidak terbiasa berbohong sebelumnya sehingga kebohongannya pasti terlihat jelas di matanya yang panik.

Tetapi rupanya Paman Moon tidak menyadarinya, Pria paruh baya itu rupanya sudah cukup senang karena Jaemin sudah pulang dengan selamat.

Jaemin melangkah masuk ke kamarnya dan melirik ke arah jam tangannya. Hari ini hari minggu dan sudah jam tiga siang. Perjalanan dari rumah Jeno ke asramanya cukup jauh dan harus menembus kemacetan.

Biasanya di hari minggu Jaemin akan menemani Paman Moon berbelanja untuk keperluan makan malam anak-anak asrama, tetapi dengan berat hati dia tidak ikut hari ini dan membiarkan Paman Moon ditemani oleh anak asrama yang lainnya.

Jaemin membaringkan tubuhnya di ranjang dengan mata nyalang menatap langit-langit. Dia telah berganti pakaian dengan pakaian rumahan, kemeja yang dipakainya semalam tersampir di punggung kursi seolah-olah menuduhnya.

Bagaimana mungkin semua bisa berubah secepat ini?. Semalam bahkan dia masih yakin bahwa dia dan Eric akan menjadi sepasang kekasih. Jaemin berencana menjawab 'ya' kepada Eric seusai pesta. Tetapi kenyataan kemudian berkata lain.

Eric ternyata orang yang tidak bisa menahan nafsu dengan pergaulan yang begitu bebas, yang tidak bisa diterima Jaemin.

Tetapi dia sendiri juga melakukannya bersama Mr. Julian– meskipun dia belum yakin, dan mereka dalam kondisi mabuk. Tapi tetap saja itu tidak bisa dibenarkan. Jaemin merasa mengkhianati semua norma yang selama ini selalu dipegangnya dengan teguh. Tanpa sadar air matanya menetes lagi, air mata kebingungan, dan tak tahu harus mengungkapkannya kepada siapa.

Ponselnya berdering terus menerus, membuatnya terbangun. Jaemin rupanya sudah tertidur pulas tanpa sadar ketika menangis di kamarnya tadi. Dengan mata perih dia melihat ke arah ponselnya yang masih berkedip dengan nada dering yang berbunyi makin nyaring, seolah tidak mau menyerah sebelum Jaemin mengangkatnya.

Jaemin menggapai dan meraih ponsel itu. Nama 'Eric' tertera di sana. Seketika membuat jantungnya berdenyut, sakit. Dipegangnya ponsel itu tanpa niat mengangkatnya. Lama ponsel itu berdering seolah Eric tidak mau menyerah di seberang sana. Sampai kemudian deringannya mati, membuat Jaemin menghela napasnya lega.

Tetapi kemudian ponselnya berbunyi pelan, sebagai tanda sebuah pesan masuk. Jaemin mengintipnya. Itu pesan dari Eric, Jaemin kemudian membacanya.

– Aku akan tiba di Asrama sebentar lagi. Kita harus membicarakan sesuatu –

Jaemin mendesah, dia sungguh-sungguh tidak siap bertemu Eric sekarang ini. Tetapi Eric itu sungguh memaksa, dan Jaemin tahu Eric sangat gigih, dia tidak akan menyerah sebelum Jaemin menemuinya.

.

.

.

Eric benar-benar datang sore itu, tampak sangat tampan dengan sweater hijau tua-nya dan celana hitam yang membungkus ketat kaki panjangnya. Tetapi Jaemin tidak bisa merasa tertarik lagi.

Bayangan Eric bercumbu dengan penuh gairah dengan wanita itu membuatnya merasa mual. Karena itulah dia berdiri agak jauh dari Eric di teras asrama itu dan menatapnya dengan dingin.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi." Gumamnya pelan, berusaha tenang.

Eric disisi lain menatap Jaemin dengan pandangan penuh penyesalan.

Unforgiven Hero : Nomin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang