🌼 Chapter 14

5K 425 51
                                    



*****



Ketika kembali, Jeno langsung menggandeng Jaemin mengajaknya ke pantai pribadinya.

"Kau akan senang melihat bagian pantai yang ini." Jeno mengajak Jaemin menuruni tangga putih lingkar yang ternyata ada di bawah balkon mereka, dan merekapun turun di sebuah anjungan pantai pribadi yang dikelilingi tembok dan tanaman untuk menjaga privasi.

"Aku sering berbaring di pantai, dan merenung di sini sendirian, tidak ada yang bisa melihat kita dari sini. Satu-satunya akses adalah dari tanggal di balkon kamar kita. Dan tidak ada yang berani kemari kalau tidak kuperintahkan." Jeno mengedipkan matanya pada Jaemin.

"Di sini benar-benar privasi untuk kita."

Pipi Jaemin memerah menyadari arti di balik kata-kata Jeno itu. Privasi untuk mereka. Apakah privasi untuk bercinta? Jaemin menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha mengusir pikiran aneh di benaknya. Jeno dan aura sensualnya sepertinya telah mempengaruhi Jaemin sedemikian rupa.

Lelaki itu menggandeng Jaemin ke sisi pantai yang sejuk di bawah tanaman palem dan kelapa. Tempat mereka rupanya telah disiapkan, ada sebuah gazebo kecil yang nyaman di sana, beralaskan karpet lembut berwarna cokelat muda dan bantal-bantal hitam eksotis yang berserakan di sana. Gazebo itu berhiaskan tirai-tirai putih yang menjuntai, tampak begitu indah tertiup angin pantai.

Satu sisi gazebo itu terbuka, langsung mengarah kepemandangan pantai nan luas dan indah dengan warna langit yang mulai jingga, pertanda matahari hampir tenggelam. Lampu kecil di pilar gazebo menyala dengan sinar kuning yang hangat, seakan disiapkan untuk pasangan yang akan melalui malam sambil menatap bintang-bintang di langit.

Jeno mengajak Jaemin ke gazebo dan duduk di karpetnya yang empuk, bahkan makanan pun sudah disiapkan di sana, seperti magic. Kue-kue kecil yang menggiurkan tersaji di nampan perak yang berkilauan. Dan dua botol anggur disiapkan di ember perak kecil yang berisi es, serta dua gelas minuman dingin berwarna orange segar. Ini benar-benar tempat yang menyenangkan untuk duduk sambil memandang matahari tenggelam.

Jeno merangkul Jaemin, dan mereka termenung menatap ke arah matahari tenggelam dalam keheningan. Menyaksikan cakrawala perlahan menelan bulatan orange yang bersinar orange kemerahan itu. Hingga akhirnya hanya tersisa seberkas cahaya jingga di batas cakrawala.

Suasananya begitu sakral dan intim hingga Jaemin takut merusaknya. Dia melirik ke arah Jeno, dan melihat siluet lelaki itu. Jeno benar-benar tampan, dan lelaki itu adalah suaminya. Jaemin merasakan perasaan hangat membanjirinya. Dia merasa begitu dekat dengan Jeno, seakan sudah mengenal lama, seakan Jeno mengerti apapun yang dia inginkan. Mungkin mereka memang ditakdirkan bersama.

"Jaemin-ah." Suara Jeno terdengar serak, dan dari jarak dekat, di bawah sorot lampu temaram, Dia bisa melihat mata Jeno memancarkan gairah. "Kau sudah bisa?."

Ah. Lelaki ini begitu sopan, begitu baik dan perhatian. Bahkan dalam gairahnya Jeno sempat menanyakan kesiapan tubuh Jaemin untuk bercinta. Jaemin tersenyum. Dia tidak berkata apa-apa, hanya menatap Jeno penuh arti.

Jeno membalas senyum itu, lalu dengan lembut menundukkan kepalanya dan mengecup bibir Jaemin lembut. Jaemin membalas kecupan itu. Membiarkan Jeno merasakan kelembutan bibirnya.

Lelaki itu lalu melepas ciumannya dan mereka bertatapan. Senyum Jeno malam itu tidak akan pernah Jaemin lupakan, senyum itu begitu lembut, begitu penuh haru, dan entah kenapa membuat dada Jaemin sesak oleh suatu perasaan yang tidak dapat digambarkannya.

Jemari Jaemin bergerak ragu dan menyentuh pipi Jeno, lelaki itu menempelkan pipinya di sana dan memejamkan matanya, jarinya meraih jari Jaemin dan mengarahkannya ke bibirnya, Jeno lalu mengecup telapak tangan Jaemin dengan lembut.

Unforgiven Hero : Nomin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang