BAGIAN 9 - Malu

164 16 3
                                    

"Selamat pagi, Anak-anak," ucap Pak Suhantin mengawali pidatonya di pagi hari yang cerah itu.

"Pagi, Paaaaak," jawab murid-murid dengan serentak.

"Pagi ini, saya mengumpulkan kalian di lapangan ini sehubungan dengan satu informasi yang perlu saya sampaikan kepada kalian semua," Pak Suhantin membuka sebuah kertas catatan kecil yang dia simpan di saku baju cokelat mudanya.

Ia menjauhkan kertas itu dari pandangannya dan menyipitkan matanya, mencoba menemukan jarak baca yang cukup jelas. "Seperti yang kita ketahui, dalam beberapa pekan lagi, sekolah kita akan berulang tahun yang ke-25. Dan dalam rangka merayakan hari besar tersebut, akan segera diadakan pentas seni dan bazaar yang terbuka bagi seluruh murid SMA NUSANTARA."

Seketika suara riuh dari bisikan antarmurid perlahan terdengar. Maula memperhatikan apa yang dikatakan bapak kepala sekolahnya itu dengan saksama.

"Adapun pentas seni yang dibuka adalah seni teater, seni suara, seni musik, seni tari dan juga seni lukis yang hasilnya akan dipajang di pameran sekolah pada hari perayaan sampai kurang lebih 3 hari setelahnya."

Maula tersenyum dan mulai menimang, apakah dia harus ikut menyumbangkan talentanya nanti?

Ya, dibalik perawakan garangnya, Maula pandai bermain alat musik, terkhusus piano. Tidak banyak orang yang tau sebab Maula tidak pernah menampilkan talentanya itu dan percayalah, dia ingin sekali mencobanya. Tapi.. entahlah. Maula sedikit ragu.

"Bagi yang ingin bergabung, kalian dapat mengambil dan mengembalikan formulir pendaftaran dari dan kepada pengurus OSIS paling lambat tiga hari sebelum hari perayaan yang mana kurang lebih sekitar satu minggu dari hari ini. Sekian informasi yang bisa saya sampaikan. Untuk lebih lengkapnya, kalian dapat langsung bertanya pada pengurus OSIS. Tanpa penghormatan, bubar, jalan!" ucapnya yang membuat barisan yang rapi itu seketika berantakan.

"Maula! Aaaaa!" Danisa berseru tepat di telinga kanan Maula.

Gadis itu mendelik, "Kenapa? Seneng banget keliatannya?" ujarnya seraya mengusap-usap telinganya yang terasa pengang.

"Oh, iya dong! Soalnya aku nggak sabar ngisi acara itu! Ahh, pensi ini tuh saat yang tepat untuk menunjukkan—" Danisa mengibaskan rambut hitam panjangnya, "—pesona seorang Danisa."

Maula terkekeh singkat sambil memutar bola matanya malas dan meneruskan langkahnya. "Kamu kira ini kontes kecantikan?" gumam Maula yang dibalas cengiran dari teman baiknya itu.

"Habisnya kapan lagi kita bisa tunjukin kemampuan kita dengan bebas tanpa harus ada seleksi dan antek-anteknya. Benerkan?" tanya Danisa dibenarkan Maula dalam hatinya.

"Enaknya lagi kita cuma perlu tampil, ngga perlu deg-degan nungguin pengumuman pemenang. Oh! Aku enggak boleh ketinggalan!"

"Emangnya kamu mau tampil apa?"

Danisa tersenyum. Matanya terlihat berandai-andai, mungkin membayangkan hari-H dengan dia yang menjadi salah satu pengisi acaranya. "Nyanyi."

Maula manggut-manggut sambil menggumamkan kata 'oh'. Dia tau gadis itu memang terkenal punya suara yang merdu sekali.

"Nanti pas istirahat, aku bakal ambil formulir pendaftarannya, aku ambil buat kamu juga ya!"

***

Dan di sanalah Maula berada. Berdiri sendirian di depan mading sekolahnya seraya menggenggam sebuah kertas kecil di tangannya. Matanya secara bergantian menatap kertas itu dan juga poster besar yang tertempel di hadapannya.

Sekarang sudah pukul setengah 4 sore. Itu berarti, sudah lebih dari 30 menit dia berdiri di tempat itu. Keadaan sekolah mulai sepi penghuni, tapi Maula masih saja betah berdiri di sana seorang diri.

Manggala (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang