Waktu terus berlalu. Hari demi hari silih berganti. Hari H sudah di depan mata dan persiapan Maula pun juga semakin matang. Setiap hari sepulang sekolah, dia pasti akan meminta izin guru di sekolahnya untuk menggunakan piano yang tersedia di sana.
Entahlah, rasanya berlatih di sekolah terasa lebih menyenangkan. Entah karena mungkin dia bisa dengan bebas bermain sampai bosan tanpa memedulikan tetangga sebelah atau mungkin karena kehadiran sosok itu yang selalu setia menemaninya.
Angga, setiap hari Maula berlatih di sana, maka setiap hari pula dia menunggu di sana. Tidak lupa membelikan susu kotak rasa cokelat yang lama-kelamaan menjadi minuman kesukaan mereka, Angga selalu datang dengan senyuman manisnya.
Bagi Angga, menemani gadis itu sudah menjadi kebiasaan baru baginya. Tidak pernah sedetikpun dia merasa bosan ataupun jenuh meskipun Maula jarang mengajaknya berbicara.
Buku kecil yang selalu ia bawa kemana-mana pun sudah mulai dipenuhi dengan wajah gadis itu. Berbagai ekspresi sudah tergambar di sana, membantu Angga meringankan kerinduannya pada sosok itu saat mereka berjauhan.
Hari ini adalah hari terakhir Maula berlatih sebelum tampil dan Angga sudah tidak sabar menantikan penampilan solo perdana gadis itu.
"Hah! Akhirnyaaaa. Menurut kamu gimana?" tanya Maula seraya memutar tubuhnya menghadap Angga.
Laki-laki itu langsung tersenyum manis. "Cantik." Entah dia memuji keindahan musik yang dimainkan atau memuji pemainnya, keduanya sama-sama cantik.
"Duh, kalau besok aku salah gimana ya?" gumam Maula sambil meratapi piano itu.
Oh, tidak. Si Maula yang Tidak Percaya Diri itu kembali merasuki gadis itu dan Angga harus segera mengenyahkannya. Ia berjalan mendekati Maula dan memegang kedua pundak gadis itu sebelum menatap matanya dalam-dalam.
"Fokus, Maula. Kamu udah latihan sampai di titik ini. Jangan biarin pikiran cantikmu ini mengacaukan semuanya, ya?," ujar Angga seraya menyentil pelan kening Maula.
"Anggap aja cuma ada aku di sana. Gimana?" tanyanya langsung dibalas seulas senyum cantik seorang Maula, ah entah harus bagaimana dia berterima kasih pada laki-laki itu..
Namun wajah Angga tiba-tiba berubah seperti orang yang kesakitan. Tangannya menyentuh dadanya, tepat di jantungnya. "Argh!" erang orang itu sambil menjatuhkan dirinya ke tembok di sebelahnya.
"Eh, kamu kenapa? Kenapa, Angga?" ujar Maula yang mendadak panik. Dia memeriksa seluruh tubuh Angga, takut laki-laki itu kenapa-kenapa.
'Apa ini yang namanya serangan jantung!?' batin Maula bertanya-tanya, ngawur.
Masih dengan wajah merontanya, Angga merintih, "Senyum kamu, Maula.. Senyum kamu manis banget sihhh."
Maula melongo selama beberapa detik. Otaknya mencoba mencerna maksud ucapan laki-laki itu tadi. Mulutnya terbuka lebar sebelum ia tersadar dan langsung memutar bola matanya malas serta mendengus kesal.
Sementara itu, Angga sekarang sudah mengulas senyum yang begitu lebar, senyum yang saat ini terlihat sangat menyebalkan di mata Maula.
Gadis itu kemudian memukul bahu Angga dengan membabi-buta dan membuat laki-laki itu benar-benar mengerang kesakitan sekarang. Tapi tak urung, Angga tetap tertawa melihat gadis manis yang tengah kesal dengannya itu. Ia membiarkan Maula memukulinya sampai gadis itu puas walaupun ya Tuhan.., sepertinya bahunya... mati rasa..
Maula kemudian berhenti menyerang dan berkacak pinggang sebelum menatap Angga yang sedang mengusap-usap kedua sisi bahunya.
"Secantik-cantiknya kamu, tetap aja sapi betina ya," gumam Angga yang membuat Maula siap menghajar kembali laki-laki di hadapannya itu kalau saja Angga tidak menahan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manggala (TAMAT)
Teen Fiction"Aku menyukaimu." Oh, Maula terkejut bukan main. Ia kemudian menggeleng tidak percaya. "Kamu... gila..," gumamnya tanpa sadar. Tapi laki-laki itu hanya tersenyum teduh dan berkata, "Ya. Aku tau. Selalu memikirkan kamu, merindukan suaramu, senyumanmu...