BAGIAN 26 - Milikku

206 17 4
                                    

Angga berjalan gontai di koridor sekolah sambil menjinjing tasnya. Dia masih sama, belum mampu mengikhlaskan kepergian ibunya. Sudah berpuluh-puluh orang menyemangatinya tapi tidak satupun yang bisa membuat Angga membaik. .

Baginya, kejadian beruntun yang terjadi padanya di bulan ini--mulai dari gadisnya hingga ibunya--terasa begitu berat dipikulnya. Angga sulit menerimanya karena semua itu bersangkutan dengan orang-orang yang dia sayang.

Saat sedang melamun sambil berjalan, Angga tiba-tiba tersentak saat melihat pintu di sebelahnya terbuka. Lalu, ia semakin dikejutkan lagi dengan kehadiran sosok pria yang saat itu menamparnya, keluar bersama istrinya.

Angga membungkukkan badannya, memberi hormat. Tapi orang itu hanya diam menatapnya dingin sambil melongos merangkul istrinya yang sedang menangis tersedu.

Angga menghela napas beratnya. Sepertinya, ayah Maula benar-benar sudah mencoret namanya. Beliau bahkan nampaknya enggan melihat Angga sedikit pun..

Laki-laki itu kemudian kembali melanjutkan langkahnya menuju tempat yang selama kurang lebih dua minggu ini menjadi tempat pelariannya.

Sungguh, semangat hidupnya benar-benar habis. Angga bahkan merasa dirinya itu sebelas-dua belas dengan mayat hidup.

Angga hanya lelah.

Lelah sekali..

"Ealah, ternyata kamu. Mau ibu ambilin apa?" tanya Bu Dedeh saat mendengar tirai pintu wartegnya disibak seseorang.

Angga menggeleng sambil tersenyum lemah. "Ngga usah, Bu. Makasih," ucapnya membuat wanita itu mengangguk samar sambil tersenyum miris. Dia paham atas kehilangan Angga yang pastinya sangat mendalam itu. Secara, dia tau sesayang apa anak itu kepada ibunya.

Terkadang, Bu Dedeh merasa iba dengan Angga. Anak yang biasanya segirang bocah ingusan itu belakangan ini selalu datang ke wartegnya dan duduk sendirian di bangku paling belakang dan melamun. Matanya terlihat kosong namun sangat menyakitkan. Tidak ada yang anak itu lakukan. Angga hanya akan diam sambil menatapi apapun yang ada di hadapannya.

Entahlah, melamun menjadi hal yang begitu menyenangkan bagi Angga sekarang. Terkadang, hanyut dalam pikiran sendiri dapat membuatnya melupakan segala kehidupan yang terjadi di sekitarnya.

"Angga! Angga!" lamunan Angga buyar dan seketika dia melirik ke arah datangnya suara. Laki-laki itu langsung mendengus malas sebelum menyembunyikan wajahnya pada lekukan tangannya di atas meja itu.

"Angga. Kali ini kita benar-benar berharap kamu mau ikut tawuran lawan sekolah sebelah," ujar Galuh sebagai topik pembukanya membuat Angga semakin malas menanggapi mereka semua.

Angga hanya diam, mencoba bersabar. Apa teman-temannya itu tidak bisa mengerti keadaannya sekarang? Angga sedang tidak dalam keadaan yang baik dan bisa-bisanya mereka mengajak Angga ikut tawuran!? Mereka sudah gila.

"Angga!" Yang dipanggil masih enggan menjawab.

Rama, yang mulai geram melihat tingkah sahabatnya itu, sontak mendorong bahu Angga dan membuat emosi laki-laki itu nyaris saja pecah.

Angga menggebrak meja sebelum berdecak marah. "Apa sih?! Kalian kan tau aku gak bakal mau ikut! Berhenti paksa aku sebelum aku benar-benar marah!" serunya berkoar-koar.

Oh, Angga tidak main-main dengan ucapannya dan teman-temannya itu tentu mengetahuinya. Urat di pelipis Angga bahkan jelas terlihat saat ia berseru tadi.

Rama..., ah, nampaknya dia ikut terbawa suasana. Dia, yang tidak habis pikir dengan kelakuan sahabatnya itu, dengan kasar menarik kerah seragam Angga dan memaksanya untuk berdiri sebelum menatap ke dalam matanya tajam-tajam.

Manggala (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang