"Maaf ya, Nis. Kamu jadi harus repot-repot gini," ujar Maula yang kelabakan karena ayahnya itu tiba-tiba saja pulang dari dinasnya. Seingatnya, orang itu baru akan pulang besok malam. Sebab itu Maula dari tadi hanya berleha-leha ria sambil belajar bersama Danisa.
Danisa mengibas-kibaskan tangannya. "Ah, nggak masalah kok. Masa si om balik aku diem aja," ujarnya yang sekarang sedang membantu Maula menyiapkan makan malam karena ibunya sedang sibuk membereskan pakaian dan semua barang bawaan suaminya itu.
Namun, saat Maula sedang memasukkan garam pada sop ayamnya, ayahnya tiba-tiba saja berteriak memanggil namanya.
"Maula! Sini kamu!" seru ayahnya dengan nada yang tinggi... sekali.
Maula sontak terkejut dan langsung buru-buru mematikan kompor lalu menghampiri ayahnya itu yang kalau dia tidak salah dengar, suaranya berasal dari.. kamarnya?
"Kenapa, Ayah?" tanya Maula setibanya dia di depan pintu.
Sang ayah kemudian berbalik menghadap putrinya sambil menggengam kuat dua buah benda di kedua tangannya. Wajahnya sudah gelap dan matanya yang tajam menatap nyalang pada Maula yang seketika terkejut melihat apa yang ada di genggaman ayahnya itu.
"Apa ini?" tanya ayahnya "masih" dengan suara rendah tetapi terdengar begitu dingin menusuk telinga.
Maula terdiam sambil menunduk. Dia sama sekali tidak berani menjawab maupun menatap mata ayahnya yang sedang bersinar marah itu.
"Apa ini, Maula!?" seru ayahnya mengulang pertanyaannya, kali ini disertai bentakan kasar dan dengan suara yang tinggi.
Namun Maula masih enggan menjawab. Wajahnya tertunduk semakin dalam. Dia gemetaran. Ah, dia takut. Sangat takut. Dan sepertinya, pilihannya untuk diam merupakan penyesalan terbesarnya hari ini karena sang ayah akhirnya kehilangan kesabarannya. Dia membanting kedua benda itu hingga pecah tidak bersisa. Serpihan kaca itupun bahkan terpental ke mana-mana.
Maula terkisap dan sontak langsung berlari mengambil dua benda yang menurutnya berharga itu, sama sekali tidak peduli dengan serpihan kaca yang mungkin saja bisa melukai dirinya.
Tapi, saat dia hendak berjongkok, berniat meraih dua benda pemberian Angga, tangannya ditarik kasar oleh ayahnya dan Maula dipaksa berdiri menatap ke dalam mata itu lekat-lekat.
"Sejak kapan kalian pacaran?" tanya ayahnya kembali terdengar begitu dingin.
"Di..dia bukan.. bukan pacar aku, Ayah..," cicit Maula yang langsung berbuah bentakan keras dari, ayahnya, lagi.
"Jangan bohong Maula!" Seruan itu begitu mendengung di telinga Maula dari jarak yang sedekat itu.
Ia lantas mundur selangkah. Sekali lagi dia katakan, Maula takut. Sangat takut, dengan ayahnya yang sedang murka itu. Bibir bawahnya bahkan sudah berdarah digigitnya. Oh, Maula sekuat tenaga menahan tangisannya yang sudah menjerit di dalam sana.
Mendapatkan keheningan lagi sebagai jawabannya, sang ayah, Guntur, beranjak mengambil kasar bunga mawar dan kertas naas itu dan hendak membawanya pergi, membuangnya.
Maula langsung saja meraih lengan ayahnya. "Ayah, aku mohon jangan buang itu.. Aku mohon.." lirihnya tidak rela jika dua benda yang selama ini menemani Maula ditengah dinginnya atmosfer rumahnya itu harus dibuang.
Tapi Guntur menghentakkan lengannya dengan kasar. Oh, putrinya bahkan sampai sedikit terhempas mundur. "Salah kamu sendiri punya hubungan di belakang ayah! Ayah sudah memperingatimu hari itu, Maula!" ujarnya sebelum merobek sketsa wajah itu di hadapan Maula dengan begitu brutalnya.
"Ayah!" jerit Maula yang tangisnya sebentar lagi akan pecah.
Merasa ditantang, sang ayah berbalik menatap tajam putrinya yang mulai terasa membangkang. "Apa?! Belum saatnya kamu berpacaran! Dan ayah tidak akan mengizinkanmu berpacaran dengan laki-laki itu kalaupun tiba saatnya kamu untuk memiliki hubungan!"
Maula, dengan air mata yang berlinang di wajahnya, berbalik menatap ayahnya dengan pandangan kecewanya. "Kapan, Ayah?! Kapan aku boleh bahagia?!"
Guntur berkacak pinggang. Baik dirinya maupun putrinya, mereka berdua tengah dilanda kabut panas penuh emosi sekarang. "Kamu belum tau bagaimana kerasnya dunia ini, Maula! Dan ayah melakukan ini demi kebaikanmu!"
Maula mengangguk lirih. "Jawab pertanyaan Maula, Ayah!" sahut Maula yang kali ini membuat Guntur terdiam sesaat sambil menatap putrinya dengan tatapan tidak terbaca. Ah, dia tidak menyangka anaknya tumbuh menjadi seseorang yang begitu keras kepala.
"Ayah tidak mau tau. Selama kamu masih ada di bawah perlindungan ayah, ayah tidak akan mengizinkanmu melakukan hal yang bisa merugikan dirimu sendiri!" ujar Guntur final sebelum pergi meninggalkan Maula sendirian di kamarnya.
Dada gadis itu bergerak naik-turun dengan begitu cepat. Kepalan tangannya sudah begitu kuat sampai-sampai buku jarinya memutih. Napas Maula berhembus tidak karuan. Bibirnya bergetar menahan isakan tangisnya. Matanya yang berair menatap tajam punggung ayahnya yang sekarang sudah angkat kaki dari kamarnya.
"Ayah egois!" umpat Maula sebelum berlari dan menutup-ralat, membanting-pintu kamarnya sebelum bersandar dan menangis di balik sana.
Maula merasa sedih saat menyadari nasib masa remajanya yang ternyata akan sekeras ini karena ayahnya.
"Jauhi laki-laki itu. Jangan tunggu sampai ayah yang turun tangan memisahkan kalian berdua!" seru ayahnya yang masih bisa Maula dengar dari tempatnya berada.
Maula kembali menyembunyikan wajahnya di balik lekukan kakinya dan menangis hebat.. Ah, satu hal yang mempersulit keadaan adalah ketika Maula sadar dia tidak mampu membenci ayahnya sendiri karena masalah ini.
Maula lelah..
Lelah harus terus bertentangan dengan ayahnya sendiri..
Dan semua kejadian itu tidak luput dari pengelihatan Danisa. Dia... hari ini menjadi saksi pertengkaran hebat antar ayah dan anak itu. Oh, dia bahkan ikut menangis saat melihat sahabatnya itu dibentak oleh ayahnya sendiri.
Merasa dia harus-setidaknya-menemani temannya itu, Danisa dengan lembut mengetuk pintu kamar Maula. Oh, sebisa mungkin ia menahan tangisnya agar tidak pecah agar tidak semakin memperkeruh keadaan.
"Maula.. ini aku.."
Suara Danisa membuat Maula semakin dalam menenggelamkan wajahnya pada lekukan kakinya. Ah, dia baru sadar bahwa kejadian memalukan tadi harus disaksikan oleh teman baiknya sendiri..
"Maaf, Danisa. Tapi kamu harus pulang. Aku.. lagi mau sendiri," lirihnya dari balik pintu.
Dan Danisa pun mengerti. Maula sedang membutuhkan waktu untuk menyendiri. Menimpali itu, dia mengangguk. "Aku paham. Kamu jangan lupa istirahat ya. Aku selalu siap kapanpun kamu butuh bantuan," ujar Danisa dengan begitu lembut membuat
Maula menangis semakin tersedu-sedu. Hatinya bersyukur menyadari dirinya masih dikelilingi orang-orang yang menyayanginya.
"Aku pamit ya. Assalamualaikum," pamitnya sebelum berniat berjalan meninggalkan pintu kamar Maula kalau saja dia tidak mendengar pintu itu kembali terbuka.
Danisa tak mampu menahan air matanya menatap sosok yang terlihat begitu kacau itu. Mungkin pertemanan mereka belum berlangsung lama. Tapi, Danisa turut merasakan kesedihan mendalam melihat gadis itu yang tidak pernah terlihat seberantakan ini.
Dipeluknya teman baiknya itu, membiarkan Maula menumpahkan tangisnya di dalam sana.
Danisa mengusap lembut punggung Maula yang sedang bergetar hebat. Ah, tidak ada satu kata pun yang mampu diucapkannya. Danisa takut isakannya akan semakin pecah. Lama mereka berpelukan sampai akhirnya Maula melerainya dan berujar lemah, "Makasih Danisa.." ujarnya dibalas anggukan dari orang di hadapannya itu.
Dan saat Danisa hendak pergi, Maula kembali berkata lirih, "Aku mohon jangan bilang ke siapapun tentang ini. Terutama.. terutama Angga."
***
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Manggala (TAMAT)
Teen Fiction"Aku menyukaimu." Oh, Maula terkejut bukan main. Ia kemudian menggeleng tidak percaya. "Kamu... gila..," gumamnya tanpa sadar. Tapi laki-laki itu hanya tersenyum teduh dan berkata, "Ya. Aku tau. Selalu memikirkan kamu, merindukan suaramu, senyumanmu...