Angga mengulas senyum puas menatap hasil karya di depan matanya. Karya itu adalah salah satu karya terbesar yang pernah dia buat dengan menggunakan seluruh hatinya.
Angga merasa puas.
Puas sekali.
Setiap goresan yang bersatu dan diselimuti warna-warna yang hidup membentuk sebuah lukisan yang benar-benar terlihat begitu indah. Detail dari lukisan itu pun berhasil dibuat sempurna tanpa cacat sedikitpun. Oh, hanya dengan melihat ke dalam sepasang mata pada sosok di dalam lukisan itu, Angga mampu menyelami perasaan yang sengaja dia gambarkan di sana.
Menyinggung perihal ayahnya, kejadian pagi tadi membuat semangat belajar Angga hilang dan ia memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan melukis di tempat persembunyiannya sepanjang hari.
Dari pagi setelah mengantar Maula ke kelasnya, Angga langsung pergi ke tempat pribadinya itu sampai saat ini, di detik-detik terakhir bel pulang sekolahnya.
Angga, bahkan di saat-saat jam istirahat sekalipun, dia enggan beranjak. Pendengarannya seolah mati dan fokusnya hanya tertuju pada benda itu. Dan semuanya membuahkan hasil yang benar-benar memuaskan.
Sekilas, wajah ayahnya terlintas di pikirannya. Alih-alih merenung, Angga justru tersenyum bangga.
"Ayah, lihat karya anakmu ini. Terima kasih untuk bakatmu."
Ya, ayah Angga juga seseorang yang mahir melukis. Semua barang-barang di tempat ini adalah sisa-sisa peninggalan ayahnya yang berhasil Angga kumpulkan. Yaaah, kalaupun ada yang harus ia beli, paling tidak hanya sekedar cat airnya saja.
Angga kemudian segera merapikan peralatannya. Ia membawa lukisan itu ke tempat tersembunyi yang aman dari panas maupun hujan. Rencananya, dia akan memamerkan hasil karyanya ini besok siang pada saat jam pulang sekolah karena sekarang catnya masih basah dan pastinya akan memakan waktu lama untuk mengering. Ah, Angga benar-benar sudah tidak sabar.
Sementara itu, di bagian lain dari sekolahnya...
"La.. Maula! Maula!" tepukan kencang dari seseorang di pundaknya menyadarkan Maula dari lamunannya.
"Hah? Oh iya. Kenapa, Nis?"
"Kamu kenapa sih dari tadi nggak fokus terus? Melamun aja dari tadi.."
Maula mengusap tenguknya. "Aku.. engga apa-apa. Cuma.. cuma lagi banyak pikiran aja," ujarnya beralibi karena bahkan yang sedang ada di pikirannya hanya satu.
"Mikirin apa sih? Emangnya berat banget ya?"
"Engga apa-apa, Nis," ujar Maula yang memilih untuk menutup diri.
Danisa menghembuskan napasnya dan mengangguk. Ia mengerti. Mungkin temannya itu belum mau bercerita dan dia tidak berhak memaksanya. Alhasil, Danisa hanya mengusap sekilas bahu temannya itu dan memilih untuk diam.
Tidak lama kemudian, bel pulang sekolah berbunyi. Semua murid serentak menutup buku pelajaran mereka dan bersiap-siap pulang.
"Sampai ketemu di rumah nanti malam, Maula," ujar Danisa membuat Maula tersenyum dan mengangguk. Mereka memang sudah berjanji untuk belajar bersama di rumah Maula nanti malam.
Dan setelah itu, Danisa membantu Maula berjalan menuju gerbang sekolahnya di mana tempat mangkal para supir becak biasanya berada. Ah, kedatangan mereka seketika disambut senyuman yang-menurut Maula-paling mematikan sedunia.
Danisa tersenyum jahil melihat dua muda-mudi yang sepertinya sedang dimabuk asmara itu. "Ya sudah, karena udah ada yang nungguin, aku pulang duluan ya, La. Kalian hati-hati. Dah~"
Dan selepas Danisa pergi, Maula melirik pada Angga yang wajahnya terlihat cerah-cerah saja. Saking seriusnya memperhatikan wajah laki-laki itu, tanpa disadarinya, Angga sudah melambaikan tangan di depan wajahnya. Dan Maula terkisap saat Angga menjentikkan jarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manggala (TAMAT)
Fiksi Remaja"Aku menyukaimu." Oh, Maula terkejut bukan main. Ia kemudian menggeleng tidak percaya. "Kamu... gila..," gumamnya tanpa sadar. Tapi laki-laki itu hanya tersenyum teduh dan berkata, "Ya. Aku tau. Selalu memikirkan kamu, merindukan suaramu, senyumanmu...