BAGIAN 7 - Masa Remaja

167 18 3
                                    

Maula bersandar di daun pintu rumahnya dengan senyum lebar yang sulit luntur di wajahnya. Tidak ada kata yang bisa mewakili perasaannya saat ini selain kata "Bahagia".

Ia lalu memeluk buku di genggamannya dengan erat. Uhhh, tidak disangkanya dia akan berakhir sebahagia itu. Membayangkan kembali serentetan peristiwa yang terjadi hari ini, sanggup membuat pipi Maula merona memikirkannya. Ah, dia bisa gila...

Maula kemudian menghela napas ringan sebelum tersenyum, mencoba menetralkan debaran jantungnya dan berjalan riang menuju kamarnya, hendak menghabiskan waktu sampai pagi membaca buku baru pemberian orang itu.

Tapi baru saja ia melewati ruang tamu, langkahnya tiba-tiba berhenti dan senyumnya mendadak hilang mendengar suara bariton seseorang yang menginterupsi.

"Habis darimana, Maula?" tanya seseorang membuat Maula terlompat kaget.

Maula menyentuh dadanya. "Ya ampun, Ayah! Maula kaget.."

Tanpa menghiraukan umpatan putrinya, sang ayah kembali bertanya, "Dari mana kamu?" Suaranya terdengar bergitu rendah, begitu mengintimidasi.

Sadar keadaan berubah mencekam, Maula mendadak gugup. "Maula.. habis dari.. rumah Dewi, Ayah," jawabnya berbohong.

"Ngapain?"

"Main-main aja.."

"Main-main aja tapi kamu sampai dandan secantik itu?"

Maula terdiam membeku sambil memilin buku yang berada di genggamannya. Ia mulai tersudut, kehabisan kata-kata. Ah, dia.. dia tidak berani kalau harus menghadapi ayahnya.

"Jas siapa itu?" tanya ayahnya membuat wajah Maula semakin pucat.

Gawat! Gawat-gawat-gawat! Maula bisa mati bisu di hadapan ayahnya kalau sudah begini!

"Ini.. punya temanku," cicitnya yang ternyata merupakan suatu kesalahan besar.

"Jadi kamu habis ketemu seseorang?" Maka tamatlah sudah. Maula sudah terjebak, dan dia benci harus terlambat mengetahui itu.

Ayahnya kemudian menutup koran yang tadi dibacanya sebelum berdiri menatap mata anaknya yang terlihat begitu tegang dengan pandangan yang tidak terbaca. Putrinya itu menggigit bibir bawahnya, kebiasaan yang dia bawa dari kecil kalau gadis itu sedang takut.

"Kamu punya pacar?" tanya sang ayah langsung membuat Maula terbelalak.

"Engga! Maula nggak punya pacar, Ayah..," serunya menjawab.

Sang ayah hanya menatap putrinya dengan pandangan tidakpercaya. Wajah Maula berubah memelas. "Maula serius.."

Lagi, sang ayah tidak menghiraukan ucapan putrinya. Ia hanya diam menatap tajam mata Maula, membuat gadis itu tidak punya pilihan lain selain jujur padanya. "Ayah.., dia temanku. Kita hanya pergi—"

"Ke mana?" sela ayahnya membuat Maula terdiam sesaat sebelum menghela napasnya. Kalau sudah seperti ini, mengelak apalagi berbohong bukan pilihan yang tepat.

"Ke perpustakaan.. pusat."

Mata sang ayah memincing sebelum ia mendesis, "Jauh sekali, Maula..," lirihnya membuat Maula terdiam dan kembali menunduk memilin buku barunya.

Sang ayah kemudian menyentuh pelipisnya yang terasa berdenyut. "Kenapa kamu harus bohong sama ayah?" tanya ayahnya penuh penekanan.

Maula terdiam, tidak berani menjawab. Ia takut kalau saja ia menjawab, ayahnya akan semakin marah.

Tapi pilihannya ternyata salah. Merasa tidak mendapat jawaban apapun, Guntur, ayah Maula, kembali bertanya. Kali ini dengan bentakan keras. "Kenapa Maula!?" serunya dengan suara tinggi.

Manggala (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang