Pertengkaran

6.1K 261 16
                                    

Hari ini Arga mulai masuk kantor. Setelah seminggu cuti. Sekarang Arga memilih menetap di Indonesia setelah menikahi Dinda. Rencananya nanti sore mereka akan pindah dari rumah orangtua Dinda ke rumah yang dijadikan mahar di Jakarta selatan.

Pagi ini diawali insiden memalukan karena Dinda berteriak sangat kencang saat Arga selesai mandi. Hal yang membuat Dinda berteriak adalah saat Arga keluar kamar mandi tidak menggunakan baju hanya menggunakan celana dan handuk yang disampirkan ke pundaknya. Air masih menetes dari rambut Arga saat ia keluar dari kamar mandi dengan roti sobek yang terpampang nyata di depan Dinda. Membuat Dinda berteriak. Mama dan Papanya yang mendengarnya di luar kamar mengedor-gedor pintu. Khawatir terjadi apa-apa dengan bungsu mereka.

Beberapa kali mamanya meneriakan nama Dinda. Setelah bisa menguasai keadaan Dinda pun menyahut jika tidak terjadi apa-apa.

"Om tolong, dong, kondisikan. Mata saya terkontaminasi tau," dengkus Dinda menutup wajah dengan telapak tangannya

"Apa?" Arga memperhatikan Dinda yang bergelung di kasur seperti hewan tringgiling.

"Itu, Om, aish pakai bajunya."

Rupanya Dinda malu melihat penampilannya sekarang. Arga tersenyum dengan kepolosan Dinda.
"Memang kenapa?" kata Arga menggoda Dinda.

"Cepat pakai bajunya, Om, kalau tidak saya teriak akan lagi."

Arga berjalan menuju lemari membukanya dan mengambil stelan jas untuk kerja hari ini. Setelah itu dengan santai ia menggantinya.

"Sudah belum? Lama amat Om," protes Dinda merasa Arga sangat lamban.

"Sudah bukalah matamu."

Dinda menurunkan tangannya melihat Arga sudah rapi dibalut stelan jas berwarna hitam. Kini Arga sedang meminyaki rambut lalu menyisirnya. Mata Dinda tidak lepas dari setiap gerak gerik Arga.

"Saya tahu saya tampan, jadi berhentilah menatap dengan tatapan memuja seperti itu," kata Arga tanpa melihat Dinda.

Ck ck pede sekali Om tua ini, batin Dinda. Dinda beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Selesai mandi Arga sudah tidak ada di kamar. Dinda bernafas lega. Dia bisa bebas di kamar kemudian bersiap-siap pergi ke kampus.
Dinda membuka lemari mengambil rok tutu warna silver dan baju kaos lengan panjang warna senada. Setelah mengenakan pakaiannya ia duduk di depan meja rias mulai memoles wajah cantiknya.
Setelah dirasa cukup Dinda menyambar tas lalu keluar kamar menuju meja makan. Keluarganya pasti sedang sarapan sekarang.

Sampai di meja makan Dinda melihat anggota keluarganya lengkap berkumpul di sana.
Dinda menarik salah satu kursi kosong di samping Mama.

"Dinda hari ini jadi mau pindah, ya?" Tanya Mama menatal Dinda yang sedang menyuap sarapannya

"Em, tanya Om Arga saja ma." Dinda menurut saja apa mau suaminya.

"Iya insyallah, Ma. Nanti sehabis dari kantor kami akan langsung ke rumah baru. Biar sisa barang-barang Dinda menyusul saja," jawab Arga.

Arga sudah mengisi rumah baru mereka dengan perabot rumah tangga.
Jadi nanti sore mereka tinggal datang saja.

"Baiklah Arga itu lebih baik. Tinggal berdua agar lebih mandiri," kata Wijaya.
"Khususnya untuk Dinda."

Merasa namanya disebut Dinda mengangkat kepalanya. Sebenarnya berat bagi Dinda untuk berpisah dengan keluarganya, terutama Mama.
Selama ini Dinda selalu bergantung dengan Mama. Bahkan dia belum bisa memasak. Paling bisa hanya memasak mie instan.
Membayangkan tinggal berdua saja dengan Om Arga membuat kepala Dinda pusing tujuh keliling. Semoga saja Om Arga tidak galak atas kekurangannya. Sehingga ia tidak harus merasa tertekan. Jika tidak, tamatlah riwayat Dinda. Tugas kampus menumpuk ditambah tugas rumah bisa-bisa Dinda melambaikan bendera putih. Menyerah.

Mahar Untuk AdindaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang