Perjodohan

14K 374 2
                                    


By: Nelliya Azzahra

Braaak ...!

Gadis dengan rambut dikuncir kuda itu membanting pintu kamar, menutupnya rapat. Di balik pintu, dadanya naik turun berusaha meredakan emosi. Napasnya tersengal Wajah seputih salju itu menjadi merah padam. Perdebatan antara dia dan mamanya tadi membuat kepalanya serasa mau meledak. Benar-benar tidak habis pikir. Apa yang merasuki pikiran orang terkasihnya itu, mengapa harus dia?

Mama dan papanha mengambil keputusan sepihak ingin menjodohkan dia dengan teman papanya. Oh, ayolah. Becandaan macam apa ini. Gadis itu baru saja kuliah semester dua, dan sekarang akan dinikahkan sama seorang duda. Ya, calon suaminya duda. Semakin berang gadis itu, seolah dia perawan tak laku sehingga harus repot-repot dijodohkan. Dikira ini zaman Siti Nurbaya apa main jodoh-jodohan begitu. Engga banget. Baru membayangkan saja, gadis itu sudah mual. Tidak pernah terbersit sedikitpun dia akan menikah dengan lelaki yang jarak usianya terpaut jauh. Dia suka yang seumurun, atau beda setahun du tahun lebih tua darinya. Sekarang apa? Calon suaminya bahkan lebih pantas menjadi omnya.

Tega sekali orang tuanya menjerumuskan putrinya sendiri agar menikahi om-om. Tidak memikirkan perasaan gadis itu sedikitpun.
Dan om-om tidak tahu diri itu mau-maunya menyetujui ide konyol orang tuanya. Dasar cari kesempatan. Ingin sekali gadis itu datang dan melabrak om-om tidak tahu diri itu. Menyadarkannya jika dia tidak sudi dinikahi dan dijadikan istri. Jangankan dinikahi, baru memikirkan saja kepala gadis itu sudah sakit. Emosinya naik ke ubun-ubun, amarahnya tak terkendali. Mana mungkin dia yang gadis ting-ting, rela bersuamikan om-om, duda pula. Apa kata dunia?

Biar dia tebak, om-om itu sudah pasti berkepala botak, perut buncit, dan berkumis tebal.
Duh, membayangkannya saja gadis itu sudah pengen kabur. Yang jelas tua. Titik.

Dinda luruh ke lantai. Pandangannya menerawang langit-langit kamar. Dia kembali teringat perdebatan dengan mamanya di taman tadi membuat dia berakhir di kamar seperti sekarang ini.

"Apa!" pekik Dinda tidak percaya. Nyaris jantungnya berhenti berdetak. Telinganya tidak salah dengarkan? Rasa cemas dan gusar langsung membuat Dinda berkeringat dingin.

"Dinda, jangan teriak kalau bicara sama Mama," tegur Uli melayangkan tatapan horor membuat Dinda meneguk ludah. Bagaimana dia tidak kaget bila tanpa ada angin, petir apa lagi gluduk, tiba-tiba dia ingin dinikahkan.

"Siapa yang mau Mama jodohkan?" tanya Dinda masih tidak percaya dengan kata-kata mamanya barusan. Rasa-rasanya dia tidak ingin mempercayai apa yang dia dengar.

"Ya kamu. Memang putri Mama ada berapa?" Uli balik bertanya dengan entengnya. Tidak tahu saja kalau saat ini jantung Dinda jumpalitan mendengar kalimatnya.

"Ma, sekarang sudah zaman modern. Masih, ya, main jodoh-jodohan gitu. Dinda engga mau, Ma. Kasih Dinda kesempatan untuk memilih jodoh Dinda sendiri," balas Dinda tidak terima kalau saat ini dialah objek perjodohan itu. Ogah banget dia dipaksa menikah. Pokoknya gadis itu tidak mau dan tidak akan pernah mau.

"Memangnya kenapa kalau zaman modern, hem? Kamu itu harus nurut sama Mama dan Papa."
Uli melipat kedua tangan di depan dada dan menyilangkan kaki. Persis seperti seseorang yang ingin menjatuhkan vonis hukuman.

"Ma, Dinda engga mau. Sampai kapanpun engga mau. Mama jangan maksa, dong!" tolak Dinda cepat. Dia yang mau menjalani rumah tangga sudah pasti mencari pasangan yang pas dan sreg di hati. Bukan main jodoh-jodohan seperti ini. Lelaki yang mau dijodohkan saja dia tidak kenal. Huh, seperti beli kucing dalam karung saja. Bagaimana nantinya dia akan menjalani rumah tangganya. Pasti membosankan dan menyebalkan. Tidak ada percikan cinta seperti rumah tangga umumnya.

"Dinda dengar, ya. Mama sama Papa mengambil keputusan ini demi kebaikan kamu, Sayang. Percayalah," ujar Uli mulai melembutkan suaranya seperti biasa. Dia harus tega demi kebaikan anak gadisnya.

Mahar Untuk AdindaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang