Cintakah??

5K 276 6
                                    

Cinta hakiki adalah ketika kita mampu mencintai Allah Swt melebihi cinta kepada makhluk-Nya.

**********

Setelah mendapatkan kotak P3K, Arga tidak langsung menemui Dinda. Dia meraba dadanya merasakan detak jantung masih tidak beraturan efek berdekatan dengan Dinda tadi pastinya. Arga menarik nafas menghembuskan perlahan. Bagaimanapun ia laki-laki normal, apalagi Dinda adalah isteri sahnya. Berdekatan seperti itu membuat keinginan primitifnya sulit dikendalikan. Pertarungan antara nafsu dan logika, akhirnya dimenangkan oleh logika.

Arga mau semuanya terjadi karena keridaan dari mereka berdua sebagai sepasang suami isteri nantinya atas keridaan itu akan bernilai ibadah di hadapan Allah. Tidak ingin Dinda merasa terpaksa menjalankan kewajibannya.
Apalagi Dinda seperti masih setengah hati menerima pernikahan ini. Terbukti dari pertanyaan Dinda di kamar tadi.

Arga membawa kotak P3K menuju kamar.
Sampai di depan kamar Arga mendorong pintu berjalan mendekati ranjang. Dinda duduk di lantai masih sambil memegangi dahinya yang benjol.

Arga mengeluarkan salep.
"Sini, mendekat sedikit." Dinda beringsut mendekat. Arga menyingkirkan anak rambut Dinda yang jatuh di dahinya, pelan Agra mulai mengolesi salep pada benjolan di dahi Dinda.

Baru saja tangan Om Arga menyentuh kulitnya, Dinda merasa seperti kesentrum aliran listrik bertegangan tinggi. Tangan hangat Om Arga menyentuhnya hati-hati.

Dinda memejamkan mata mencoba meredam desiran di dadanya setiap kali tangan Om Arga berhasil menyentuh kulitnya.
Dinda sampai menahan nafas.

Arga melihatnya seperti itu menyunggingkan senyuman. Sebenarnya ia sudah selesai sejak beberapa menit lalu mengoleskan obat. Hanya saja, Arga sengaja masih mengusap dahi Dinda. Tangannya memang tidak bisa diajak kompromi.

"Sudah, sekarang bernafaslah," ujar Arga.

Dinda menghembuskan nafas lega. Jika seperti ini terus dia bisa kehabisanan nafas setiap kali berdekatan. Rasanya ada yang aneh. Bersama Ivan, Dinda merasa lebih santai. Dari pada sepasang kekasih, mereka malah seperti sahabat. Dinda menyayangi Ivan, tapi rasanya tidak meledak-ledak. Biasa saja.

"Kenapa menahan nafas seperti itu? Hem," goda Arga sambil memasukkan kembali obat ke kotak P3K.

"Itu... engga apa-apa, Om." Dinda meraba dahinya "Semoga benjolnya segera hilang. Apes bener, sih, belum juga sampai sehari tinggal di rumah ini sudah dapat musibah." gerutunya.

"Kamu punya kebiasaan menggerutu seperti itu?" Tanya Arga.

"Ya?"

"Bukan apa-apa."

"Dinda, apa kamu lapar? Bagaimana kalau kita belanja di swalayan dekat sini," ujar Arga setelah dirasa Dinda tidak kesakitan lagi.

"Lapar, tapi kenapa tidak beli saja, Om. Ribet harus masak," protes Dinda yang memang tidak bisa masak.

"Masak sendiri lebih sehat. Insyaallah halalan dan thoyiban."
Arga berdiri "Ayo, siap-siap."

Arga mengambil jaket denimnya.
Dinda mengikuti dari belakang. Dia memakai celana panjang serta baju kaus berwarna pink.

"Dinda, pakai ini, ya?" pinta Arga menunjukkan kerudung instan berwarna pink

Mata Dinda menyipit, yang benar saja ia disuruh memakai benda itu. Mau menolak nanti panjang ceritanya bisa-bisa Dinda kena ceramah berjam-jam sementara perutnya sudah minta diisi.
Dinda mengulurkan tangannya. Arga memberikan kerudung pink ke tangan Dinda.

Tanpa melihat kaca, Dinda memasang asal saja kerudungnya.
Melihat kelakuan isteri ajaibnya Arga geleng-geleng kepala.

"Sudah, ayo, Om!"

Mahar Untuk AdindaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang