Kakak Kelas

4.2K 206 39
                                    

BAB 22 KAKAK KELAS

#MAHARUNTUKADINDA

Ketiga kalinya terdengar nada dering dari gawai Dinda. Tanpa dilihat pun, ia tahu pasti dari Om Arga. Dinda kembali disergap dilema. Baru kali ini ia menerima telfon seperti ancaman teror. Layaknya film horor yang pernah ia tonton. Jika ini diceritakan pada suaminya, pasti akan ditertawakan. Menyebalkan.

Akhirnya Dinda memilih mematikan gawainya. Beres.
Jika Om Arga marah urusan belakangan. Yang penting sekarang dia tidak was-was lagi. Segera dia masukkan benda pipih tersebut ke dalam tasnya.

Dinda mencoba meraba perasaannya. Apakah dia benar-benar sudah jatuh cinta? Atau yang selama ini Dinda rasakan hanya perasaan nyaman saat bersama O Arga. Hampir 4 bulan pernikahan mereka, Dinda merasa Om Arga penuh misteri. Seperti rahasia yang coba dia ungkap, tapi jika tidak cinta, mengapa dia sekarang seperti orang kebakaran jenggot hanya karena mendengar kata-kata dari Ivan.

Oh astaga ...

Kepala Dinda berdenyut memikirkan perihal perasaannya. Sekarang kenapa malah dia yang plin plan. Sepertinya dia butuh refresing agar pikirannya kembali fresh. Ternyata menikah tidak selalu tentang hal yang indah-indah, batinnya. Buktinya, ingin saling memahami satu sama lain butuh usaha ekstra. Belum lagi drama airmata, perdebatan, sampai endingnya ngambekan segala. Dinda mencoba mengikuti alurnya saja. Menikmati apa yang sekarang ia miliki. Meskipun itu artinya resiko tetap ada.

Memikirkan kemana tempat yang akan dia kunjungi. Dinda memutuskan pergi ke mall. Dinda ingin membeli makanan anak kucing yang beberapa hari lalu ia temukan di pinggir jalan saat pulang dari kampus. Waktu itu singgah membeli nasi goreng. Melihat anak kucing kurus berdiri tidak jauh darinya menumbuhkan rasa iba.
Setelah mendapat izin dari Om Arga, Dinda langsung menggendong kucing berbulu abu-abu tersebut masuk ke dalam mobil.
Kini anak kucing itu terlihat lebih sehat dan bersih setelah Dinda mandikan dan diberikan makan secara teratur.

Satu lagi rahasia Arga terungkap. Rupanya suami tampannya itu geli dengan kucing. Bahkan Arga rela membelikan rumah untuk kucing manis itu agar tidak berkeliaran ketika dia berada di rumah. Mengingatnya, Dinda mengurai senyum. Ya, bagaimanapun manusia itu tidak ada yang sempurna.

Sebelum meninggalkan mushala Dinda merapikan kerudung serta menaburkan bedak tipis ke wajah cantiknya. Bibir sewarna cerry dipoles lipgloss. Tujuannya adalah mall Senayan City. Dinda sebenarnya mau mengajak Abel, berdua sepertinya lebih seru. Sayangnya, Abel sudah pulang duluan karena papinya baru tiba dari Singapura setelah melakukan perjalanan bisnis. Jadi sendirian juga tidak apa-apa.

++++++

Sementara di kantor Arga kesal sekaligus khawatir. Berulang kali mendial nomor Dinda, tapi tidak diangkat. Pertama dihubungi aktif, selanjutnya sudah tidak aktif lagi.
Arga mencoba berpikir positif. Dindanya baik-baik saja mungkin habis baterai.

"Pak Arga." Seorang wanita muda tersenyum pada Arga yang terlihat gusar.

"Iya."

"Meeting sebentar lagi dimulai, Pak," ujar wanita itu ramah.

"Baiklah, terima kasih, Lis." Arga beralih pada laptopnya.

"Sama-sama, Pak. Permisi."

Tidak lama Arga keluar mengikuti Lisna ke ruangan meeting.

Setiba di Mall, Dinda bermaksud mengisi perutnya dulu. Sebenarnya sudah lewat jam makan siang. Kalau Om Arga tahu, tentu dia akan akan dinasehati panjang lebar.

Setelah memesan makanan. Dinda memasang handset ke telinganya. Ini kebiasaan Dinda sejak gadis, suka mendengarkan musik. Meskipun sekarang sudah jarang hanya sesekali jika moodnya sedang buruk.

Mahar Untuk AdindaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang