Masa Lalu

3.4K 170 14
                                    

Setelah mencium tangan Arga, Dinda turun dari mobil. Hari ini Dinda kuliah seperti biasa. Meskipun mamanya memberi saran untuk cuti, meminta ia pergi honeymoon yang tertunda sejak hari pertama mereka menikah. Mamanya berharap bisa menimang cucu secepatnya, tapi Dinda menolak. Bukan tidak ingin menyenangkan mamanya, Dinda pikir saat ini dia harus fokus kuliahnya jika tidak ingin mengulang tahun depan. Lagipula, mereka setiap saat bersama. Lalu untuk apa lagi pergi honeymoon.

"Hati-hati Om," kata Dinda sambil melambaikan tangan.

"Iya."

Arga menurunkan kaca mobil membalas lambaian tangan Dinda.

"Nanti mau dijemput jam berapa?"

Dinda melirik jam di pergelangan tangannya,
"hmm, nanti saya kabari, ya, Om." Hari ini ada tugas kuliah bersama Abel dan Keysa. Belum tahu pastinya akan pulang jam berapa.

"Oke kabari saja." Arga menutup kaca. Tak lama mobil bergerak meninggalkan kampus dan Dinda yang masih belum beranjak dari tempatnya.
Setelah mobil Arga lenyap dari pandangan, Dinda melangkah masuk ke dalam kampus. Namun, langkahnya mendadak berhenti ketika mendengar seseorang memanggil namanya. Saat Dinda berbalik, netranya berserobok dengan netra laki-laki yang bertahta di hatinya 2 tahun lalu.

Ivan setengah berlari menghampiri Dinda.

"Dinda!"

Laki-laki dengan postur tubuh kurus tinggi itu berhenti hanya beberapa jengkal dari hadapan Dinda. Wajah tampannya dialiri peluh, nafasnya tersengal. Mata setajam elang milik Ivan mimindai dari atas sampai bawah penampilan Dinda. Ada yang berubah.

Dinda memakai gamis berwarna pink dan kerudung warna senada  membungkus mahkota indahnya.
Tak ada lagi rambut hitam tergerai seperti biasa. Tidak ada lagi celana jeans ketat serta baju kaus atau kemeja pas badan. Ivan bergeming. Diam-diam dia mengagumi penampilan baru wanita yang masih sangat dia cintai hingga detik ini.

"Ivan, ada apa?" Dinda tak berani menatap mata Ivan. Ia pura-pura sibuk merapikan kerudungnya. Dinda masih merasa bersalah karena memutuskan hubungan mereka sepihak.

"Aku mau bicara, ayo!" Ivan meraih pergelangan tangan Dinda. Sontak saja Dinda balik menarik tangannya dan menyembunyikan di balik punggung. Alis Ivan mencuram. Aneh. Dindanya sekarang sudah berubah.

"Bicara apa? Disini saja," pinta Dinda merasa tak nyaman. Dia ingat betul tempo hari Om Arga marah besar saat ketahuan bicara dengan Ivan. Dinda melihat airmuka Ivan berubah murung. Timbul rasa tidak tega. Sejujurnya Dinda belum melupakan Ivan 100 persen. Lelaki di depanya saat ini, pernah menetap di hatinya serta mengisi dan membuat hari-harinya indah. Bagaimana Dinda bisa melupakan secepat itu? Dia ingin menjaga jarak karena statusnya. Andai saja waktu itu Ivan lebih dahulu mengajukan lamaran, tentu dengan senang hati Dinda menerimanya.

"Oke mau Bicara di mana?" Akhirnya Dinda mengalah. Membiarkan Ivan menuntaskan apa yang ingin pemuda itu luapkan.

"Kantin."
Ivan melangkah lebih dulu menuju kantin di samping fakultasnya. Sementara Dinda mengekor dalam diam.

Mereka duduk berhadapan. Ivan memesan kopi susu, sementara Dinda memesan jus alpukat kesukaannya.

"Bicaralah."
Dinda buka suara.

Ivan mengangkat gelas, menyeruput pelan isinya sebelum memulai pembicaraan mereka. Dengan gerakan lambat Ivan kembali meletakkan gelas ke atas meja.

"Begini ..." Ivan menggantung kalimatnya. Sekilas dia seperti sedang mengumpulkan keberanian. Dinda melihat sama sekali tidak terpengaruh. Dia duduk tenang dan anggun.

"Waktu kita bertemu di supermarket, diam-diam aku menyelidiki identitas laki-laki itu. Aku tahu semuanya, Din. Dia yang kamu sebut suami, lelaki itu pernah menikah 'kan?!" Tanya Ivan menggebu.

Mahar Untuk AdindaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang