Cinta Adinda

4.7K 202 7
                                    

Mentari belum memunculkan sinarnya, saat kedua insan tengah khusuk membaca ayat demi ayat dari kalam Illahi.

Selesai salat subuh, Arga dan Dinda tilawah bersama seperti biasa.

Wajah dua manusia berbeda gender itu memancarkan aura bahagia. Pasalnya, semalam mereka telah menyempurnakan pernikahan mereka. Merengkuh kenikmatan ibadah sebagai pasangan halal. Menikmati moment malam pertama yang tertunda. Dinda bahagia karena Arga memperlakukannya dengan lembut dan penuh cinta. Awalnya ia takut karena untuk pertama kali pasti terasa sakit, tetapi ketakutannya sirna. Sekarang tidak ada lagi keraguan dalam hati Dinda pada Arga sebagai imamnya. Dinda merasa lelaki inilah yang paling tepat untuk mendampinginya. Perjodohan hari itu yang awalnya ia sesali kini ia syukuri. Tahu begini dari dulu saja ia menikahi Arga. Tidak perlu drama quen segala. Sampai nangis ala bombay. Perkataan mamanya waktu itu benar, suatu saat Dinda akan bersyukur atas perjodohan ini.

Setelah mandi dan mengenakan baju, sejujurnya Dinda masih malu bertatapan langsung dengan suaminya, ingatan semalam membuat pipinya bersemu merah. Apa lagi ada bercak merah di sekitar leher dan dadanya. Ia berharap Arga cepat pergi ke kantor agar ia terlepas dari pesona om-om itu. Baru sekarang Dinda sadar, jika suaminya itu cakep kebangetan. Ke mana saja dia?

Hampir jam enam pagi, mereka pun menyudahi bacaannya. Dinda memilih ke dapur membuat sarapan, sementara Arga sedang berganti pakaian kerja.

Aroma masakan tercium sampai ke kamar. Seledai perpakaian Arga penasaran ingin melihat apa yang dimasak isterinya menyusul ke dapur. Tumbenan Dinda mau masak tanpa drama terlebih dahulu. Biasanya seribu alasan dibuat agar tidak disuruh masak.

"Masak apa?" Arga berdiri tepat di belakang Dinda

"Astaga!" teriak Dinda hampir menjatuhkan spatula di tangannya. Ia kaget tidak menyadari Arga sudah berdiri di belakangnya. Aish, Arga ini tidak tahu saja Dinda hampir jantungan karena kaget dan pesona pria itu. Duh, sepertinya sekarang Dinda bucin abis pada suaminya sendiri. Karma kan. Awalnya benci sekarang jadi cinta, makanya jangan kali benci jangan kebangetan. Nanti ujung-ujungnya jadi sayang.

"Masak capcay, Om. Sana jangan dekat-dekat." usir Dinda mencoba meredam rasa gugupnya dengan pura-pura bersikap jutek. Jangan sampai Arga tahu, bisa besar kepa ntar. 

"Aku tidak mengganggu," bisik Arga di dekat telinga Dinda. Membuat bulu roma Dinda meremang. Kan, dia jadi ingat kembali aktivitas mereka semalam.

Dinda bagai tikus bertemu kucing sekarang. Nyalinya ciut. Dasar Arga tidak peka, batinnya. Tidak mengganggu sih, tapi jantung Dinda berdebar-debar tidak karuan tau. Gimans mau fokus masak kalau seperti ini. Yang ada ntar masakan bisa gosong.

"Pokoknya Om tunggu di meja makan, aja. Saya engga konsen masaknya. Emang Om mau terlambat ke kantor gara-gara saya masaknya lama." 

"Ok isteriku. Engga usah sok galak gitu. Gak cocok."

Isteriku, mendengar Arga mengucapkan kata itu Dinda senyum-senyum sendiri. Terdengar seperti Arga benar-benar menginginkan dan membutuhkannya sebagai isteri. Eh, tapi kan dia benar istrinya. Mengapa otak Dinda jadi aneh. 

"Dinda, kenapa senyum-senyum sendiri."

"Eh?"

"Kamu barusan senyum-senyum. Engga lagi mikir yang aneh-aneh, kan?" ujar Arga menggoda Dinda. Ia sekarang senang menikmati rona merah di pipi mulus isterinya itu kala sedang malu.

"Apa, sih, Om. Mikir aneh apa." Dinda cemberut membuat Arga ingin mencubit pipi chubbynya.

"Ok. Saya minta maaf." 

"Ada syaratnya, Om." Senyum terbit menghiasi wajah cantiknya.

"Apa?"

"Nanti malam temani saya belanja, ya." Dinda mengampiri Arga menarik kursi di sebelahnya.

Arga seperti orang sedang berpikir dan menimbang-nimbang. Sebelum menjawab pertanyaan Dinda. Sudah ditebak istrinya itu pasti ada maunya jika bersikap manis. Benar kan.

"Mau ya, Om." Dinda mengedipkan sebelah matanya. Genit sama suami sendiri tidak apa-apa, batinnya.

"Baiklah pulang saya temeni."

"Makasih, Om." Dinda membuka kedua tangannya ingin meraih tubuh Arga, tetapi urung. Tangannya terangkat di udara membuat Arga menunggu. 

"Kok enggak jadi?" protes Arga sudah ngarep dalam pelukan pagi-pagi lumayan jadi mood boster.

"Engga apa-apa. Om sudah rapi gitu. Ntar bajunya kusut kalau saya peluk." Dinda beranjak memasukan masakannya ke dalam piring dan memberikan pada Arga.

Mendengar alasan itu Arga mengacak rambut Dinda. Isteri ajaibnya memang menggemaskan. 

Seperti permintaan tadi pagi, malam ini mereka belanja ke supermarket. Dinda membaca kembali daftar belanja yang ia bawa dari rumah. Ini ia lakukan untuk antisipasi agar tidak kalap saat belanja. Kebiasaan Dinda dulu suka kalap kalau belanja, membeli barang yang kadang tidak terlalu di butuhkan. Setelah mendapat nasihat dari Arga sedikit demi sedikit ia mulai merubah pola hidupnya. Sekarang jika belanja ia cukup membeli barang-barang yang dibutuhkan saja. Menekan keinginannya, lapar mata.

"Dinda." 

Dinda yang sedang mengambil camilan ingin memasukkan ke troly menoleh ke sumber suara.

Ivan 

Dinda menegang di tempat. Terasa rantai besar memakunya di lantai. Camilan di tangannya jatuh dan berserakan ke lantai. Ia tak menyangka akan bertemu mantan kekasihnya di sini.

"Dinda, sudah belanjanya?" tanya Arga berjalan mendekati Dinda dengan troly hampir penuh.

Melihat itu Ivan berang. Wajahnya memerah dengan kedua buku tangan terkepal di kedua sisi badan. "Jadi ini alasan kamu menolak lamaran saya. Laki-laki ini yang merebut kamu dari saya?" tanya Ivan. Tatapan tajamnya mengarah pada Arga. Sorot matanya tidak bisa menyembunyikan kesedihan. Dadanya sesak bak dihimpit ribuan beban berat berton- ton. Harapannya layu seketika. Pernikahan impian bersama Dinda kandas. Terlambat. Satu kata itu yang pasti.

"Ivan, ma-maaf.  Kami dijodohkan," cicit Dinda dengan mata berkaca. Dia merutuki situasi ini. Mengapa bertemu Ivan di saat ia bersama Om Arga.

Ivan menatap Dinda. Dan saat itu ia melihat Dinda mulai menangis. Kemarahannya seketika sirna, ingin ia meraih Dinda ke dalam pelukan dan menangkan wanitanya itu. "Baiklah, jika kamu tidak mencintai saya lagi, saya mundur." Tercetak jelas kekecewaan pada ekspresi wajah pemuda tampan itu.

"Ivan ...." Dinda melangkah ingin mendekati pemuda berlesung pipi itu sebelum tangan Arga dengan menyambar pergelangan tangannya.

"Tolong jauhi Dinda karena dia sudah bersuami. Jangan pernah mencintai istri orang," potong Arga. Dadanya panas terbakar api cemburu. Arga segera membawa Dinda menjauh tidak ingin Dinda terlibat obrolan lebih lama dengan pria asing itu.

"Tanpa kau minta, aku juga tau apa yang harus ku lakukan," sinis Ivan tidak suka dengan sikap posesif Arga. Andai Arga tidak merebutnya, pastilah ia yang akan menikahi Dinda.

Setelah itu Ivan segera meninggalkan Arga dan Dinda dengan hati berantakan.

Sepeninggal Ivan, Arga meraih tangan Dinda membawanya berjalan menuju kasir. Sedangkan Dinda berusaha menyembunyikan airmata. Dalam hati berulang kali ia marapal kata maaf untuk Ivan.

Mahar Untuk AdindaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang