Kamu boleh membenciku, tetapi tidak dengan mengorbankan perasaan orang lain.
❤❤❤
Bagi mereka, tidak peduli sekeras apapun peradaban yang sudah runtuh, tidak peduli apakah wawasan semakin terbelakang, namun yang terpenting adalah saat di mana kamu bisa mengenyangkan perut dan memiliki harta yang mampu menandingi yang lain.
"Sampai kapan?" Aisyah meletakkan beberapa buku yang baru saja ia sampuli di atas rak.
Aisyah menatap Ziya yang tengah berkutat dengan beberapa buku. Ziya tersenyum menatap Aisyah yang dibalas senyuman.
Sudah beberapa bulan ini, taman baca mereka dipenuhi oleh anak-anak. Keduanya sangat senang, ketika mereka begitu antusias dan semakin bersemangat untuk mengenal banyak hal.
Namun, tidak ada hidup yang berjalan dengan mulus. Pasti terdapat lubang di tengah-tengahnya.
"Mungkin benar, Mbak. Kita bisa saja melakukan banyak hal, namun pasti ada beberapa sekelompok dari mereka yang berusaha menjatuhkan."
Kenyataannya adalah saat di mana mereka mulai membenahi dan mencoba mengajak, namun ada komplotan yang berusaha mendorong dan menjatuhkan. Tidak serta merta mereka melakukan ini, sebab baginya pikiran adalah saat di mana kuasa menjadi pilihan.
"Kamu benar. Harusnya kita mampu lebih waspada terhadap mereka. Bukan semata-mata karena kita berharap di sini terasa nyaman, nyatanya ada beberapa orang yang mulai ikut campur."
Aisyah menghela napas. Dia baru saja teringat, bahwa ada beberapa orang yang berusaha mengusik pantinya. Mereka memang belum menampakkan diri, namun ini sesuatu yang mengusik.
"Mbak tahu tidak, kalau anak-anak yang sering kali nongkrong di jembatan itu tidak menyukai kita?" Aisyah mengangguk lalu mulai berpikir kembali.
"Kamu harus hati-hati." Ziya mengangguk. Dia teringat kejadian dulu, di mana mereka mencoba untuk merusak kerudungnya.
Preman desa yang mengusik ketentraman orang lain, bukan tanpa alasan namun mereka memang suka membuat orang lain teraniaya.
"Sudah sore, waktunya kamu pulang."
Ziya berpamitan kepada anak-anak panti.
"Ah! Kenapa jalan sendirian mbak?" Ziya terdiam. Ia menatap ke samping di mana ada pemuda itu.
Ziya berhenti lalu menatapnya. Mereka terdiam di tengah keheningan jalanan. Sang lelaki tampak tak berminat untuk membuka suara begitupun Ziya.
"Sepertinya kamu senang sekali mengikuti saya? Apakah kita saling mengenal? Dan tolong, jangan suka menguntit kehidupan orang lain, jika kamu memiliki kehidupan sendiri." Ziya langsung meninggalkan orang tersebut.
Tidak peduli sekeras apapun kalian untuk menjauh, dia akan tetap datang dengan keadaan yang sama.
Ziya tidak mengerti saat seseorang mencoba untuk mendekatinya, ketika keadaan yang semestinya tidak membuat dia untuk terjerat. Seperti halnya jatuh untuk kesekian kali, lalu dia tidak ingin untuk memulai segalanya.
***
Malam itu tidak ada yang menarik, namun lagi-lagi ketenangannya terganggu. Entah apa yang membuat mereka menjadi senang sekali untuk mengusik kehidupan orang lain, namun nyatanya itu yang terjadi.
"Saya sudah katakan untuk tidak mencampuri urusan saya." Perempuan itu menatap nyalang ke arah Ziya, namun Ziya membalas dengan senyuman.
"Adikku tidak butuh membaca buku. Dia mampu tanpa pertolongan kamu, lagipula sejak kapan kamu mulai tertarik untuk berurusan dengan desa ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Melodi Sang Hijrah [SELESAI]
Teen FictionEND / Ziya, keyakinannya untuk mempertahankan sesuatu yang wajib bagi dirinya bukanlah hal yang mudah. / "Nggak perlu didengerin omongan mereka, Mbak. Syurga kita bukan hasil ngemis ke mereka." / Kisah ini bukan tentang aku dan dia, tetapi aku deng...