Terkadang apa yang kita fikirkan, belum tentu sesuai dengan kenyataan.
🚩🚩🚩
Belajar untuk menilai dan memahami sesuatu di sekitar kita, belum tentu semudah membalikkan tangan. Itulah yang selalu Ziya pikirkan sampai sekarang. Meskipun dirinya berusaha untuk tidak terlalu memusingkan sesuatu tersebut.
"Terkadang orang baik di sekitar kita itu bisa menjadi pengkhianat." Ziya terhenti, lalu menatap Sonya di sampingnya.
Kini mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang, sambil berbincang-bincang singkat.
"Maksud kamu?" Tanya Ziya.
"Intinya, kita tidak bisa menebak seperti apa kepribadian seseorang yang sesungguhnya." Sonya tersenyum ke arah Ziya, lalu kembali melanjutkan perjalanannya.
Apa yang dia sembunyikan?
Selama Ziya mengenal Sonya, perempuan itu mengalami banyak perubahan yang tidak bisa ditebak. Sifatnya yang mudah mendominasi, membuat seseorang menjadi terdiam seketika.
Sonya itu sulit diotak-atik
"Ziy, aku harap kamu selalu hati-hati." Sonya tersenyum manis, terlampau manis hingga matanya menyipit. Dia melangkah mundur, melambai ke arah Ziya. Lalu kakinya berbalik dan meninggalkan Ziya untuk segera pulang ke rumahnya.
***
Sesampainya di depan rumah, Ziya menatap bingung ketika mendapati pria itu 'lagi' tengah berdiri pongah di depan jendela kamarnya, sambil membawa balok berukuran sedang.
"Apa yang sedang kamu lakukan?" Pria itu sedikit tersentak, lalu mulai tersenyum ketika melihat Ziya.
"Bukan apa-apa. Hanya mengurusi satu hama." Ketika Ziya ingin bertanya lebih lanjut, pria itu meninggalkannya.
Ada apa lagi? Apa yang sebanarnya tengah disembunyikan dari semua ini. Dirinya sungguh tidak mengerti, ketika ada beberapa kejadian yang membuat dirinya sedikit berpikir dalam. Ia mencoba menerka-nerka tentang siapa dan apa yang akan terjadi.
"Kamu sudah pulang?" Ziya menatap Uminya. Ia melihat sedikit gurat khawatir di wajah sang ibu.
"Ada apa, Umi?" Tanya Ziya.
"Ziya... Umi nggak tahu, tentang apa yang sedang diinginkan oleh salah satu orang di luaran sana. Tadi, Umi dibuat terkejut ketika ada seekor ular kecil di atas tempat tidurmu. Untungnya ada pemuda yang selalu bersama dengan ayahmu itu."
Ziya sedikit terkejut, pasalnya tadi ia sudah berburuk sangka bahwa seseorang yang mungkin ingin menjatuhkannya ada pria tadi. Namun sekarang dia paham, ketika pria itu membawa balok digunakan untuk apa.
"Dia yang mengusir ularnya?" Tanya Ziya, sedikit ragu.
Sang Umi mengangguk dan Ziya menghela napas lega. Entah kenapa ada perasaan tenang di sudut hatinya, bahwa pria tadi bukan seperti apa yang dipikirkannya.
"Kamu jangan terlalu berburuk sangka padanya, nak." Ziya mengangguk lalu menatap kepergian Uminya.
Namun Ziya tidar sadar, bahwa seseorang di balik pohon yang tidak jauh dari rumahnya tengah tersenyum sinis. Ia membukan handphonennya, lalu menghubungi seseorang.
"Selamat datang di permainan selanjutnya, Ziya. Aku tidak sabar untuk membuka buruk rupamu itu."
***
Setelah sekian lama tidak ada yang mengusik tentang penampilannya. Kini ia harus dihadapkan oleh teman-teman Amir dari sekolahnya.
Tidak sengaja bertemu di warung lalu mereka tergelak, ketika mendapati Ziya.
"Wah, lihat! Ibu ustadzah kampung kita sedang berbelanja." Ujar salah satu dari kelima anak yang berada.
Mereka tertawa bersama, lalu manarik gamis panjang Ziya yang menyapu tanah.
"Apa yang kamu lakukan?!" Ziya menyentak tangan salah dari mereka dan hanya dibalas oleh tawa.
"Nggak Amir, nggak mbaknya. Sama-sama sombong ke orang lain. Mereka selalu merasa menjadi manusia paling suci dan benar. Memakai jilbab dengan dalih kewajiban, padahal kelakukan masih judes. Tidak ramah dengan lingkungan. Bukankah jilbabnya hanya kedok belaka?" Si pembicara satu ini menatap Ziya dengan sengit, lalu meludahi gamis Ziya dengan kejinya.
"Menjijikkan!" Ziya melotot, ketika gamisnya diludahi. Ia ingin menampar anak kecil yang sudah kurang ajar dengannya.
Namun sebelum tangan itu melayang, salah satu dari mereka memegang kedua tangan Ziya secara berlawanan.
"Lepas! Apa mau kalian?!"
Lagi-lagi mereka hanya membalas dengan tawa. Salah satu maju, semakin maju dan menghadap ke wajah Ziya. Jarak keduanya sangat dekat, membuat Ziya sedikit ketakutan. Ia terus memberontak, namun cekalan di kedua tangannya terasa kuat.
"Kita lihat, seberapa kuat kamu tinggal di desa ini. Sudah pernah dengar bukan, jangan jadi pahlawan berhijab dengan dalil ingin berdakwah. Kalian hanya manusia-manusia dengan kedok syar'i yang setiap saat bisa saja membunuh kami." Ditariknya hijab Ziya di bagian belakang, membuat Ziya sedikit mendongak dan terlihat rambutnya yang keluar dengan tatanan jilbab yang berantakan.
"Aku benci dengan Amir. Dia cuman anak biasa saja, tetapi selalu menjadi incaran dan dipuja-puja oleh semua guru. Dia bisa berkelahi dan melawan banyak anak. Dia dan dia... aku muak mendengar namanya setiap hari."
Ziya ingin menangis. Dia kalah anggots dengan mereka. Sungguh teramat sakit, ketika yang dia dapatkan adalah beberapa orang di desa hanya menatap dia tanpa minat. Tidak berniat untuk menolong lebih tepatnya.
"Lepas! Seharusnya kamu berusaha lebih keras lagi untuk mendapatkan segala sesuatunya. Kamu mungkin anak orang kaya, tetapi kekayaan itu bisa saja Allah ambil setiap saat. Kalau kamu ingin segalanya, berusahalah. Jangan jadi pengecut dengan cara mengancam orang lain!" Ziya berteriak di depan anak itu. Tidak peduli jika ia dipandang sebagai perempuan yang kasar, dirinya sudah tidak peduli.
Anak itu menggeram marah. Ia menyentak jilbab Ziya lalu berlalu pergi. Tidak peduli dengan keadaan Ziya yang terduduk lemas.
"Ya Allah... apalagi sekarang?" Tubuhnya bergemetar. Dia baru saja disentuh oleh pria lain selain ayahnya dan Amir.
"Mbak Ziya!"
Dan satu hal yang mereka lupakan. Bahwa Amir bukan seseorang yang sabar ketika keluarganya diusik.
Bersambung
Maaf, ini belum diedit 😁
Terimakasih
Salam sayang dan cinta
zeezii23
KAMU SEDANG MEMBACA
Melodi Sang Hijrah [SELESAI]
Teen FictionEND / Ziya, keyakinannya untuk mempertahankan sesuatu yang wajib bagi dirinya bukanlah hal yang mudah. / "Nggak perlu didengerin omongan mereka, Mbak. Syurga kita bukan hasil ngemis ke mereka." / Kisah ini bukan tentang aku dan dia, tetapi aku deng...