Suatu hari, setiap kebencian akan berubah rasa menjadi kecintaan.
🐦🐦🐦
Ziya bangkit dari duduknya, ia menatap kepergian Uni. Betapa malangnya gadis itu dengan nasib yang menimpa dirinya. Uni tengah berusaha untuk kembali ke rumah sang orang tua.
"Aku tidak menyangka jika kau bisa sebijak itu?" Ziya menatap malas ke arah laki-laki yang ternyata masih diam di tempatnya.
"Sudah hampir sore, sebaiknya kamu pulang. Bukannya aku mengusir, hanya saja tidak baik jika kita berduaan tanpa ada orang tuaku."
Laki-laki itu tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya. Ia memang berniat untuk pulang. Lagipula yang ia cari tidak ada, jadi apa yang dikatakan Ziya ada benarnya.
***
Bagi Ziya, mengenal banyak hal di dunia adalah sesuatu anugerah tersendiri. Ia bisa belajar banyak dan memulai kehidupan baru, tentang apa saja yang ingin dilakukan ke depannya.
Seperti halnya;
"Jangan!" Ziya berlari, menghampiri seorang perempuan yang tengah berlutut di sisi jembatan. Gadis itu tengah memegang pisau dengan kilatan mata yang penuh amarah.
"Jangan lakukan itu. Kita selesaikan dengan baik-baik." Gadis itu menggeleng, masih menatap Ziya penuh was-was.
Ziya terkejut, ketika dirinya mendapati seorang perempuan yang terlihat putus asa tengah duduk di pinggir jembatan. Awalnya ia biasa-biasa saja, namun ketika ia melihat gadis itu tengah terdiam dengan tatapan kosong, serta tangan yang memegang pisau diarahkannya ke pergelangan tangan membuat Ziya tidak bisa untuk diam saja.
"Pergi!" Gadis itu menodongkan pisaunya ke arah Ziya. Pikirannya tengah berkecamuk dan dia tidak mampu untuk berpikir waras.
Kenapa?
Hanya satu kata namun menyimpan banyak pertanyaan.
"Aku nggak akan pergi, sebelum kamu membuang pisau itu." Ziya jelas tahu apa yang akan terjadi selanjutnya dengan gadis itu dan ia tidak membiarkannya saja.
Sebenarnya gampang, Ziya hanya berpura-pura untuk tidak perduli. Namun dirinya bukan seseorang dengan tingkat ketidakpedulian yang tinggi. Ketika hal itu terjadi di depan matanya, maka ia harus menolong. Bukan lari dan tidak peduli seperti pengecut.
"Pergi! Aku bilang pergi! Kalian sama saja! Kalian semua tidak peduli aku!" Gadis itu terus berteriak disertai tangisan.
Si gadis langsung terduduk, masih dengan pisau di genggamannya. Hatinya terasa sakit dan ia ingin mengakhiri hidup yang ia miliki sekarang ini.
Ziya mencoba mendekat, seakan tidak peduli jika sesuatu terjadi dengannya, apalagi pisau itu masih dipegang oleh si gadis.
"Hey." Dengan lembut Ziya memegang pundak si gadis. Si empunya masih menangis dengan keras dan Ziya mengambil kesempatan itu untuk membuang pisau yang digenggamnya.
"Jangan takut. Aku bukan orang jahat." Gadis itu menatap Ziya dengan linangan air matanya. Terlihat ke kosongan yang nyata dan Ziya tahu, bahwa gadis di hadapannya itu menahan sesuatu untuk dikeluarkan.
"Mereka... mereka nggak sayang aku lagi, hiks... aku mau mati!" Ziya lansung menarik si gadis ke dalam pelukannya. Ia mengelus surai itu dengan sayang.
"Hust... tenanglah." Gadis itu mengeratkan pelukannya, ia menangis di pelukan Ziya.
Ia butuh seseorang, sangat. Hatinya terasa tertekan dan dia membenci kenyataan bahwa dirinya hanyalah sesuatu yang dipergunakan sebagai suatu bahan percobaan. Berperilaku robot dalam bentuk manusia. Ingin terlihat sempurna namun nyatanya terbanyak cacat di dalamnya.
"Menangislah, jika itu membuatmu tenang. Setelah itu, jika kamu membutuhkan teman bercerita aku siap untuk mendengarnya."
Setiap menit dilalui dengan tangisan. Ziya sabar menanti, hingga tangisan gadis itu mereda dengan sendirian. Dia hanya gadis remaja yang perlu diperhatikan dengan kasih sayang, bukan dengan kemarahan apalagi emosi sesaat. Karena jiwa mereka masih terlalu labil dan sensitiv, tidak mudah untuk mengerti sesuatu hal secara mudah.
"Mereka menyuruhku untuk terlihat sempurna, agar mereka bisa memamerkan pada yang lainnya. Tetapi mereka hanya menuntut, tanpa mau apa ada sesuatu yang sulit, selama aku mengalami semuanya. Apakah ada hal yang menyenangkan dalam keseharianku selama ini. Mereka egois, hanya untuk ketenaran. Tanpa memikirkan perasaan anaknya."
"Mama dan papa hanya berpikir, bahwa aku bisa seperti robot yang bisa di setting dengan semau hati. Mereka orang tua kejam yang aku miliki."
"Mereka hanya berpikir untuk bisa membuatku terlihat sempurna tanpa cacat, tetapi mereka tidak ingin tahu, apa saja yang aku alami selama ini."
Tangisnya kembali menderas, membuat Ziya hanya mampu menenangkannya.
Ada saatnya dia mendengarkan lalu menenangkan, jangan sampai salah berbicara.
Ziya tahu, bagaimana rasanya ketika kita dituntut untuk menjadi seorang yang perfect, namun di dalamnya tidak ada kasih sayang yang diberikan. Keegoisan orang tusnya membuat si gadis merasa tidak dicintai. Segala pengorbanannya terasa hampa dan sia-sia, hanya untuk menutupi pandangan dari orang lain.
"Aku... aku benci mereka, mbak."
"Hust... tenangin dulu pikiran kamu, ya."
Dia tetap menangis dan Ziya masih sabar menunggu.
"Terimakasih, mbak. Aku merasa sedikit baikan." Dia tersenyum lalu memeluk Ziya.
"Aku rasanya depresi, tertekan banget. Aku cuman ingin menumpahkan rasa yang aku pendam."
"Mungkin jika mbak Ziya nggak dateng, aku sudah pergi."
Bersambung
Terimakasih
Salam sayang dan cinta
zeezii23
KAMU SEDANG MEMBACA
Melodi Sang Hijrah [SELESAI]
Teen FictionEND / Ziya, keyakinannya untuk mempertahankan sesuatu yang wajib bagi dirinya bukanlah hal yang mudah. / "Nggak perlu didengerin omongan mereka, Mbak. Syurga kita bukan hasil ngemis ke mereka." / Kisah ini bukan tentang aku dan dia, tetapi aku deng...