Apakah Sebuah Kehancuran?

1.4K 265 35
                                    

Ketika hatimu mulai mati, bukankah sudah saatnya untuk kembali?

❤❤❤

Dia tertawa dengan keras.

Dia menatap penuh kebencian di antara sebuah pembatas.

Dia melihat semuanya, namun tak berniat untuk menolong.

Karena dia adalah dalang di balik semuanya.

Amarah, kebencian, dendam dan perasaan ingin menghancurkan, membutakan segalanya. Membutakan sejuta kebaikan dalam diri orang lain, hanya karena untuk pemuasan nafsu. Tidak peduli akan sebuah tangisan, karena yang ia pedulikan adalah sebuah kehancuran.

Dirinya tertawa di balik sebuah pembatas, melihat bagaimana seorang gadis berjilbab yang diseret dengan paksa ke sebuah tempat yang begitu sepi. Jauh dari jangkauan orang-orang desa.

Rontaan, jeritan, perlawanan, sama sekali tidak ada artinya. Mereka menutup diri dan mematikan hati. Tak peduli tangisan yang menyanyat hati, karena sesungguhnya merekapun sama-sama ingin bunuh diri.

Kakinya melangkah, mengikuti setiap jejak yang penuh dengan siksaan. Jeritan kepiluan itu sungguh membuat hatinya senang, bergembira yang tak terkalahkan.

"Aku mohon, jangan..." Ziya menggelengkan kepalanya. Kakinya mulai terasa kram, ketika ia diseret dengan paksa ke sebuah tempat yang tak dapat dijangkau oleh mata bahkan jeritannya pun susah didengar.

"Maaf, Ziy... tetapi aku harus melakukannya."

Dan satu tarikan itu membuat perasaan Ziya hancur. Jilbabnya dibuka dengan paksa dan kini kepalanya terbuka tanpa sehelai penutup apapun. Hatinya seakan diberhentikan seketika itu juga.

Mereka, dengan bringasnya tertawa bahkan sempat terkejut ketika mendapati sesuatu yang baru. Hal yang tak pernah mereka sangka, namun ternyata membuat kesenangan semakin berada di puncak.

"Lihat...! Ternyata dia gadis buruk rupa." Salah satu berteriak dan dibalas dengan tawa yang lainnya.

Dan seorang Daniel hanya mampu terdiam, ketika dirinya melihat sesuatu yang tidak disangka-sangka.


Ziya menunduk, perasaanya seakan mati. Air matanya turun namun tak ada isakan. Ketika sesuatu hal yang ia jaga, namun kini jelas terlihat.


Tangannya terkepal, hatinya marah. Namun kemarahan itu lenyap entah kemana. Hatinya teriris tatkala mendengar mereka yang terus saja menorehkan celaan, bukan karena perkataannya namun karena tubuhnya yang terlihat.

Memang ada luka bakar di bagian pelipis hingga dagu, namun bisa tertutupi oleh jilbabnya. Karena memang luka itu masih meninggalkan bekas, sedangkan dia belum sempat untuk mengobatinya.


"Tak kusangka, ternyata jilbab hanya digunakan untuk menutupi wajahnya yang buruk rupa."


"Hijrahnya hanya untuk menutupi kebusukan diwajahnya."


Bukan.. bukan seperti itu kenyataannya. Mereka tidak tahu apa-apa dan Ziya ketakutan.


"Lihat, dia menangis. Sudah jelas bukan jika dia berjilbab hanya untuk menutupi wajahnya yang buruk rupa."

"Wah...! Wah...! Apakah ini hanya salah satu kedoknya agar bisa memengaruhi desa kita dan dia mampu berkuasa di sini."

Mereka tertawa dan salah satunya mendekat. Ziya mencoba mundur namun terhalang oleh tubuh besar seseorang di belakangnya. Itu... Daniel. Ziya menatap Daniel dengan pandangan memohon, namun pria itu jelas tidak peduli. Matanya enggan untuk memandang gadis yang kini tengah menatapnya penuh harap.



"Diam!" Ziya berteriak. Ia beringsut menjauh, ketika salah satu teman Daniel mencoba menyentuh wajahnya.

Tubuh Ziya bergetar karena ketakutan serta kekalutannya. Ia mencari jilbabnya namun justru yang ia dapatkan adalah jilbabnya sudah sobek tak berbentuk.


"Kau tidak ingin terlihat jelek, jadi memakai jilbab. Dan ketika rahasiamu terbongkar, selamat! Kau akan memasuki fase kehancuran."


Ziya mencoba bangun, setidaknya ia harus bisa mengambil potongan jilbabnya untuk menutupi kepalanya. Namun sebelum Ziya menggapai kain itu, salah satu dari mereka langsung merebut dan membakarnya.

"Kena kau!"

Dia tertawa, melihat betapa menyedihkannya seorang Ziya. Di tangannya, sebuah benda pipih masih setia menyala. Merekam beberapa bagian yang menurutnya penting. Memotong bagian-bagian penyiksaan, dan memperlihatkan seorang Ziya yang tak berjilbab.

Di balik sebuah pohon dirinya merasa kemenangan. Ia menggenggam erat sebuah foto dan merematnya sedemikian rupa.

"Hancur, Ziya. Hancur! Persetan dengan segala hijrahmu, karena pada akhirnya kamu akan kalah."

Ziya tiba-tiba terdiam. Pandangannya kosong, menatap ke depan ke arah mereka dan berjalan pelan. Bukankah mereka menyukai kehancuran. Bukankah ini adalah tujuan mereka yang sebenarnya?

Apa yang harus Ziya lakukan sekarang?

Tidak ada yang menolongnya

Tidak ada yang mendengarnya


Apakah hijrahnya akan berakhir sia-sia?


Apakah dirinya memang tidak pantas untuk berubah lebih baik.


Jilbabnya adalah identitas.
Jilbabnya adalah sebuah kewajiban
Tak ada niatan dalam dirinya untuk memper-alat jilbabnya sebagai sesuatu yang menutupi wajah buruk rupanya.
Karena tujuan Ziya berjilbab karena ia ingin meraih ridho-Nya.

Karena ia seorang perempuan muslimah, sudah sepatutnya berjilbab.

Namun mengapa mereka menyalahkan jilbabnya.
Menyalahkan hijrahnya.

"Sudah?" Ziya bertanya. Namun pada kenyatannya mereka hanya terdiam.

Keterdiaman mereka membuat Ziya melangkah pergi. Bukankah tujuan mereka hanya ingin melepaskan jilbabnya. Bukankah itu benar?




"Lihat... wajahnya buruk rupa."

"Ternyata dia pakai jilbab cuman sebagai topeng semata."

"Yang ngakunya hijrah, ternyata munafik juga. Padahal jelas-jelas dia berjilbab karena menutupi wajahnya yang hancur."

"Lihat, ternyata Ziya punya kulit yang mulus."

"Wah... kalau dilihat-lihat, dia lebih cantik saat nggak pakai jilbab. Tetapi siapa sangka, gadis pahlawan berjilbab itu adalah seseorang yang cacat di wajahnya."






Sekarang kamu minta apalagi, Ziy?




Bersambung

Terimakasih
Salam sayang dan cinta
zeezii23

Melodi Sang Hijrah [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang