Jangan Patah

1.5K 274 23
                                    

Ada fase di mana kesabaranmu akan diuji dan ada juga fase di mana pertahananmu diuji. Namun jangan takut, karena ada sebuah hadist yang berkata; Innallaha Ma’ash Shabiriin. Maka, yakinlah!

⬇️⬇️⬇️

Gerbang tertutup rapat, tak kala Amir memapah sang kakak ke dalam rumah. Rahangnya mengeras ketika melihat mbaknya tersungkur di tanah oleh kelakuan bejat orang-orang yang dikenalnya.

Amir marah, tentu saja. Emosinya meledak dan ingin menghancurkan mereka, yang sudah mempermainkan mbaknya. Namun siapa sangka, dari amarah itu Ziya dengan sabarnya menahan Amir. Ziya berkata, untuk tidak membalas.


"Sudah. Mbak nggak apa-apa." Amir membuang muka. Wajahnya memerah, berusaha untuk menekan emosinya. Ia tidak ingin, mbaknya lebih mengkhawatirkan dirinya.


"Biar Amir yang kompresin." Amir dengan wajah datarnya, ia melangkah ke dapur.


Ziya terduduk dengan tenang. Berusaha untuk tidak lepas kendali mengeluarkan erangan kesakitan. Jika boleh jujur, dirinya ingin meringis karena sakit yang dirasakan. Namun kembali lagi, dia tidak ingin membuat Amir semakin murka.


"Ummi sama Ayah belum pulang dari rumah nenek. Jadi mereka tidak akan tahu dengan kejadian hari ini. Sebetulnya Amir ingin menghajar mereka." Amir duduk di hadapan Ziya. Memeras kain yang baru saja ia celupkan ke dalam air dingin, lalu kain itu ia tempelkan di area wajah Ziya yang lebam.


"Maaf mbak, semua karena Amir. Mereka membenci Amir, tetapi malah melibatkan mbak Ziya." Ziya tersenyum, menepuk pelan kepala Amir dengan sayang.


"Kamu hebat dan itulah mengapa mereka iri kepada Amir." Amir menatap tepat ke arah Ziya, menghembuskan napas pelan lalu menunduk.

***

"Apa kamu baik-baik saja?"

Ziya terkejut, ketika ia membuka pintu rumah tiba-tiba saja berdiri menjulang seorang laki-laki yang selalu hadir di dalam keluarganya.


"Kamu?!" Ziya sedikit berteriak. Itu hanya reflek keterkejutannya.

"Ah, maaf. Aku ingin bertemu dengan ayahmu, namun Amir bilang jika ayah belum pulang. Dan aku juga baru tahu dari Amir, jika kamu baru saja mendapat perlakuan buruk dari teman-teman Amir karena rasa benci dan keinginan untuk membalas dendam."

Ziya menghela napas lalu membuang muka. Ia tidak suka ketika ada laki-laki asing yang berusaha untuk mencampuri urusan pribadinya. Entahlah, ia tidak suka saja.


"Terimakasih." Hanya itu yang Ziya ucapkan. Lagipula mereka hanya dua orang asing yang tidak saling kenal dan Ziya tidak menganggapnya lebih. Lagipula suasana dingin, kaku dan canggung ini memang tidak bisa dihilangkan dalam percakapan yang terjadi antara keduanya.


Pria itu hanya menjawab dengan anggukan kepala. Niat hati ingin pulang, namun ada suara yang mengejutkan keduanya.


"Ziya..." Panggilan lirih itu membuat keduanya menoleh. Bisa dilihat bahwa ada seorang perempuan dengan pakaian biasa tengah berdiri di halaman rumah Ziya.


"Uni!" Ziya terkejut ketika mendapati Uni yang sudah berada di hadapannya.

Uni sedikit berlari dan langsung menerjang Ziya dengan sebuah pelukan erat.

"Ziyaaa..." Uni dengan suara seraknya, ia membenamkan wajah di pundak Ziya.

"Uni, ada apa?"

Uni menggelengkan kepalanya. Ia menangis ketika berada di pelukan Ziya. Dirinya, setelah beberapa hari mencoba untuk bertahan dan berusaha tidak menangis, namun kini tangisnya pecah seakan meluapkan segala emosi perasaan yang terpendam.

"Ziya... kita berakhir." Ziya terkejut tentu saja, karena bagaimanapun ia pernah menjadi saksi tekad yang dimiliki oleh Uni. Dan selayaknya seorang teman, ia mengelus pelan punggung Uni dengan merapalkan kata-kata penenang.

"Kita berakhir, Ziya. Aku tidak bisa mempertahankan rumah tangga ini. Dia belum mampu berubah, bahkan dengan lancangnya dia memperkenalkan kekasihnya di hadapan keluarganya sendiri." Adu Uni, masih dengan posisi yang sama.

"Dan dia melayangkan gugatan cerai, Ziya. Keluarganya mengatakan bahwa aku tidak berguna, karena tidak bisa mengubah anaknya untuk kembali ke jalan yang normal. Ziya... aku tidak berguna, Ziy..." Tangisan Uni semakin pecah, ia tidak peduli jika banyak orang yang menontonnya. Ia hanya ingin didengarkan untuk saat ini.

"Tidak Uni, mereka salah. Kamu wanita hebat. Kamu berguna, namun mereka belum sadar dengan apa yang diperbuat selama ini. Kamu kuat Uni, jangan merasa sendiri." Ziya menangkup wajah yang terasa semakin tirus. Hatinya teriris, tak kala melihat kesakitan di wajah Uni. Begitu dulu wanita itu membanggakan diri, namun ternyata tidak ada hidup yang kekal sesuai dengan apa yang ketika rencanakan.

Pada kenyataannya, kita tak akan bisa lari dari kepatah hatian
Begitupun dengan masalah yang menimpa diri sendiri
Kitapun tak bisa lari, dari cobaan sang Illahi
Begitupun dengan dunia yang fana ini

Apa yang kekal di dunia ini?
Tidak ada...
Namun amal perbuatan kita yang akan menemani untuk dipertanggungjawabkan
Dia kekal...
Sampai hisab mulai kita jalani

Terkadang kita merasa sudah mencapai pada puncak kepuasan
Namun nyatanya...
Diri selalu haus akan kenikmatan

"Ziya... aku harus bagaimana?" Air mata itu terus menetes. Ada kekecewaan, kesakitan beserta ketakutan. Bercampur jadi satu sebagaimana mata itu menatap Ziya penuh kesayuan. Ada banyak hal yang ingin disampaikan, namun pada nyatanya tak bisa diungkapkan.

"Jalani dan pasrahkan semuanya sama Allah. Kamu nggak sendiri Uni. Ada Allah yang selalu menemani. Jangan takut. Jangan menyerah. Jangan patah, kamu harus yakin dengan Dia. Kita punya Dia yang tidak akan meninggalkan hamba-Nya." Mungkin Ziya tidak bisa melakukan banyak hal. Namun ia akan berusaha untuk menguatkan hati sebagai seorang teman.

Bukankah jika kita tidak bisa melakukan banyak hal, setidaknya kita bisa memberikan dorongan semangat.

Bukan malah menjauhi. Apalagi tertawa di atas penderitaan orang lain.

Lalu dengan lantang kau mengatakan. Itu hukum karma!

Bukan. Bukan seperti itu...

"Aku takut kembali ke rumah, Ziy. Ayah dan ibu pasti kecewa." Uni menunduk. Perasaan sungguh campur aduk.

Terbesit dalam hati untuk mengakhiri hidup.

Namun... entah dorongan darimana, ia malah melangkah pergi ke rumah Ziya.

Ziya menggelengkan kepala mendengar ucapan Uni.

"Nggak, Un. Aku kenal sama ibu dan bapak. Seburuk apapun kamu sebagai anaknya, mereka tidak akan marah ataupun kecewa, meskipun ada tetapi itu pasti sedikit. Mungkin mereka ada seberkas kebahagiaan. Karena pada akhirnya, kamu sebagai anaknya bisa terlepas dari laki-laki seperti itu."

"Un... sekecewanya orang tua, mereka tetap menganggap anak. Tidak ada mantan orang tua, apalagi mantan anak."

Begitupun dengan dirimu

Sebenci apapun orang tuamu, mereka tidak akan meninggalkan anaknya sendirian.

Dan yang tidak kamu sadari, mungkin.

Bahwa mereka, akan selalu menyematkan doa untuk anaknya di setiap waktu.





Bersambung





Salam sayang dan cinta
Terimakasih
zeezii23


Melodi Sang Hijrah [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang