Pertemuan

1.5K 284 15
                                    

Kita bisa saja mengatur banyak hal sesuka hati, namun kembali lagi, bahwa Allah-lah yang mengatur kita di dunia ini. Termasuk perasaan dan akalmu.

🐦🐦🐦

Perempuan itu menatap Ziya penuh keanggunan. Layaknya seseorang yang bertahta, ia mengulurkan tangannya untuk meminta salam dari gadis berkerudung yang tengah menatapnya beku.

"Assallamualaikum, Ziy. Senang bertemu lagi denganmu." Ziya menerima uluran tangannya, ia balas senyuman itu tak kalah manisnya.


"Waallaikumsallam, Sonya." Gadis yang bernama Sonya itu tertawa, lalu memeluk Ziya.

Pelukan yang erat namun  sarat akan makna. Seperti ada cengkraman tak kasat mata pada kedua pelukan itu. Keduanya terdiam begitupun Ziya yang merasa begitu asing akan sapaan Sonya.


Sonya, siapa yang tidak mengenal gadis itu di kampungnya. Anak kepala desa yang baru saja menyelesaikan pendidikan S2-nya di luar negeri.

Siapa yang tidak mengenal Sonya, ketika gadis itu begitu mencolok di desanya. Akan keramah tamahannya, kecerdasan serta siapapun juga tahu bahwa Sonya memiliki kemampun leadership yang begitu apik. Gadis berpendidikan tinggi, yang memiliki segudang prestasi.

Siapa yang tidak tahu Sonya di desanya, ketika semasa sekolah dulu ia adalah jawara desa. Kembang desa yang begitu di kagumi baik rupa maupun kepintarannya dalam berbicara. Pemikirannya yang luas dan selalu menjadi yang terpandang.


"Masih seperti dulu ya, Ziy."


Perkataan biasa yang dilontarkan dengan nada lembut serta senyuman, namun tidak ada yang bisa menebak bahwa di setiap senyumannya itu akan ada sesuatu yang tersembunyi. Dingin dan datar berkombinasi di dalamnya. Sifat yang terkadang mendominasi juga mampu membuat orang lain mati kutu. Sonya... perempuan yang tidak mudah ditebak seperti apa aslinya.



"Kamu masih selugu dulu dan tidak ada yang berubah."


Ziya diam bukan berarti dia tidak tahu apa-apa. Dirinya tidak ingin berburuk sangka terhadap apa-apa saja yang selalu mengganggu pemikirannya.



"Aku dengar kamu baru saja menyelesaikan kuliahmu di Yogya? Wow...! Selamat ya."


"Terimakasih."


"Ziy, kamu masih berteman dengan Mbak Aisy?"


Ziya tersenyum lantas membalasnya dengan anggukan. Sonya cukup terkejut namun ia tutupi dengan senyumannya.


"Kapan-kapan ajak aku main ke sana, ya."


Siapapun yang melihat Sonya akan selalu terpana, gadis yang terkenal dengan senyumannya yang manis, tingkah menggemaskan di saat bersamaan.

"Insyaa Allah. Aku izin pamit dulu ya, takut di cariin. Assallamualaikum.."


Ziya tidak ingin berlama-lama dengan Sonya, karena ia tahu gadis itu tidak akan berhenti dengan bertanya banyak hal. Entah bertanya sesuatu yang menyenangkan atau tidak.




"Waallaikumsallam, Ziy." Ziya membalas dengan senyuman ketika Sonya tak kala memberikan senyuman termanisnya.









Namun satu yang Ziya tidak ketahui olehnya ketika pergi darisana, sebuah kepalan tangan yang menguat itu terasa mengerikan.

***

Ada hal yang Ziya tidak mengerti, ketika kakinya sampai di rumah. Dari gazebo tempat biasanya berteduh, Ziya menatap sang ayah dengan pria itu. Pria yang akhir-akhir selalu dirinya lihat.


Sebuah Al-Qur'an tergeletak di tengah-tengah dan terkadang keduanya saling berdiskusi. Ziya tidak tahu apa yang mereka lakukan, namun dari penglihatannya bahwa sang ayah tengah mengajari pria itu mengaji.

Samar-samar suara ayahnya terdengar dan ketika berhenti, disusul oleh suara lainnya. Suara pria itu yang tengah melanjutkan ayat-ayat Al-Qur'an, meskipun pelan dan terkadang terbata, siapa yang mengira jika suaranya dapat menggetarkan ruang sudut yang tak terlihat.



"Ekhem!" Ziya terkejut mendapati Uminya tersenyum geli di hadapannya.

"Hayo... sedang apa anak Umi?" Ziya melotot mendengar nada godaan dari uminya. Ia cukup salah tingkah.


"Umi, ngagetin aja. Ziya lagi lihat, apa dia jadi muridnya Ayah?"


Sang umi menatap ke arah gazebo. Lalu menatap anaknya dengan senyuman.


"Iya."

Ziya mengangguk, lalu kembali menatap ke arah tempat sang ayah. Di sana terlihat keduanya begitu akrab bahkan terkadang ada canda di tengah keseriusan.



"Ternyata kamu melupakan banyak hal." Setelah berkata seperti itu, Uminya kembali berjalan meninggalkan Ziya yang masih terdiam.


Dari jendela kamarnya, yang mengarah ke arah gazebo Ziya masih menatap dalam diam.

"Dia begitu akrab dengan ayah." Gumamnya.



Tak terasa sudah lima menit Ziya tetap terdiam di tempatnya, menatap ke luar seperti menikmati sesuatu.




Hingga tiba-tiba pria di gazebo menatap ke arahnya.







Membuat Ziya terkejut dan langsung menutup jendela kamarnya dengan tirai.





"Kenapa dia tersenyum?"






Ada yang aneh dengan hatinya.




Bersambung








Terimakasih

Salam sayang dan cinta
zeezii23

Melodi Sang Hijrah [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang