Perempuan itu berlari sekuat tenaga. Derap kakinya yang terdengar rusuh di sepanjang jalan membuat orang-orang yang berjalan santai di tepi jalan langsung menoleh ke arah sumber suara. Tatapan tidak suka dan kebingungan dari orang-orang di tepi jalan tak diharaukan perempuan itu sama sekali. Ia tetap berlari bahkan menambah lajunya dengan cepat.
Keringat mengucur di mana-mana meski ia sudah menyekanya berulang kali. Mampus gueee, batinnya mengutuk dirinya sendiri. Rambut yang dikuncir satu itu seakan melenggak-lenggok ke kiri dan ke kanan seiring ia berlari. Kepanikan menghiasi raut wajahnya. Jantungnya sudah tak tahan lagi. Bahkan jika bisa berbicara, pasti jantungnya akan berkata "Diam atau gue bakalan berhenti berdetak?"
Dengan mengenakan seragam atasan kemeja putih dan rok bahan hitam khas mahasiswa teknik, ia terlihat sangat cantik dan segar. Pokoknya enak untuk dilihat walaupun saat ini larinya sudah seperti orang yang sedang kebelet buang air kecil.
Langkah cepat kaki itu akhirnya memelan saat perempuan berambut hitam legam bermata biru langit itu menemukan lift. Ketika pintu lift itu terbuka, dengan segera ia memasuki lift tersebut. Lift itu kosong, hanya ada udara hampa dan dirinya. Saat pintu lift tertutup, ia menekan tombol 5 di sisi pojok lift.
Perempuan yang menenteng sebuah map bertuliskan namanya itu mengatur napas senetral mungkin. Sesekali ia mengelus-elus dadanya saat jantungnya terasa terlalu cepat berdetak. Ia menyenderkan tubuhnya ke belakang. Sambil memejamkan matanya, ia masih mengatur napasnya agar tidak mati tiba-tiba karena detak jantungnya yang sudah over itu.
Saat lift sampai di lantai 3, pintu itu terbuka lagi dan menampakkan seseorang yang ia kenal.
"Sherly!" Seru seseorang yang muncul dari balik pintu lift itu.
Sherly, itulah panggilannya. Nama panjangnya adalah Sherly Kalila Rinjani. Perempuan bermata biru cerah itu hampir saja telat masuk kelas mata kuliah Pengantar Teknik Industri.
Sherly berusaha tersenyum pada temannya yang menyapanya tadi walau dadanya masih naik turun akibat kekurangan oksigen. "Lah, lo belum di kelas? Gue kira udah di sana."
"Gue telat bangun," sahut temannya yang juga terlihat ngos-ngosan.
"Untung tadi temen sekamar gue bangunin gue, kalau nggak, Minggu depan gue udah abis sama Pak Bhakti kayaknya."Sherly tertawa kecil mendengarnya.
"Anggun mana?" Tanya Sherly pada temannya yang bernama Nia itu. "Biasanya kalian berduaan terus," tambah Sherly.
Sambil memeriksa beberapa buku yang ada di tasnya, Nia menyahuti Sherly tanpa melihat ke arahnya, "Nggak tau. Udah di kelas kali."
"Nanti sore abis selesai kelas anterin gue beli minum, ya???" Ucap Sherly pada Nia dengan tatapan menggemaskannya.
Aktivitas Nia mengubek-ubek tasnya seketika terhenti. Pandangannya langsung terarah pada wajah Sherly yang kini sedang mencoba terlihat semenggemaskan mungkin di depannya.
Nia terkekeh melihatnya. "Beli minuman itu lagi?"
Sherly langsung mengiyakannya dengan mengangguk cepat seperti anak anjing yang senang karena dituruti kemauannya. Kemudian Sherly memeluk lengan teman dekatnya itu sambil menyenderkan kepalanya pada bahu Nia.
"Nggak diabetes lo minum gituan mulu?"
Sherly menggeleng pelan di bahunya Nia, "Malah bikin nagih terus. Soalnya minumnya sambil ngeliatin titisan Nabi Yusuf."

KAMU SEDANG MEMBACA
Choco Milk Oreo
Teen FictionSUDAH TERBIT 🥰 Tersedia di: Tokopedia, Bukalapak, Shopee, dan Guepedia 😍 Minuman candu itu membuat Sherly semakin ingin mengenalnya lebih dalam. Rambut hitam legam, mata yang selalu menatap dengan tajam, tinggi badan yang selalu menjadi idaman sem...