Bagian 21 - Malam Itu Terasa Sangat Panjang

42 14 4
                                    

Egois. Itu adalah hal yang paling sering berkawan dengan kasus pemutusan hubungan. Mau dalam hubungan sepasang kekasih, sepasang suami-istri, sebuah keluarga, maupun antar teman. Egois ini selalu digambarkan dengan seseorang yang selalu ingin menang dalam berargumen. Seseorang yang menang dalam argumennya, makan dialah yang akan dicap sebagai orang yang egois. Bagaimana dengan orang yang kalah dalam argumen tersebut? Dia hanya akan menjadi seseorang yang kalah dari suatu hubungan. Seseorang yang akan dicap sebagai akar dari sebab hubungan itu hancur. Karena itulah kata "egois" banyak dihindari oleh sebagian manusia di dunia ini. Hanya sebagian. Tak semuanya mau mengalah untuk orang yang mereka sayang. Seperti dua orang yang saat ini saling beradu argumen.

“Semua orang itu sama, Sal.”

Emosi Achsal yang tadinya sudah di ujung tanduk tiba-tiba melunak. Bukan karena ucapan yang barusan keluar dari mulut Sherly terlalu membingungkan, namun karena itu adalah kalimat yang dulu pernah diucapkan oleh orang yang sangat ia sayang. Tiara.

Waktu itu tepat pukul 9 malam, pengurus OSIS baru dibubarkan dari rapat saat itu. Di depan gedung sekolahnya, di bawah banyak bintang yang berkelip-kelip. Suara katak yang juga menjadi backsound suasana kala itu membuat Achsal dan Tiara hanyut dalam atmosfer mereka.

Achsal menggenggam kedua tangan Tiara dengan penuh cinta, dengan segala kasih sayang yang ia berikan pada Tiata. Dan tepat tiga detik setelah menatap kedua mata milik Tiara, Achsal berkata, “Aku sayang sama kamu, Ra.”

Tiara tersenyum, manis.

“Aku cinta sama kamu, Sal.”

Keduanya terkekeh.

“Tapi aku mau jadi orang yang lebih sayang dan lebih cinta di antara kita berdua,” ujar Achsal.

Mata sayu namun cantik milik Tiara itu menatap Achsal dengan lembut. Ia eratkan genggaman tangan Achsal. Tiara tersenyum hangat.

“Semua orang itu sama, Sal.”

Senyum Achsal sedikit memudar dan berganti dengan tampang keheranan. Tak mengerti maksud dari perkataan Tiara barusan. “Semua orang sama? Maksudnya?”

Tiara mengangguk, mempertegas jawabannya.

“Semua orang itu sama. Semuanya sama. Sama-sama selalu ingin menjadi yang lebih menyayangi. Selalu ingin menjadi yang lebih mencintai. Selalu ingin menjadi yang lebih mendominasi. Dan nggak menutupi kemungkinan juga bahwa semua orang selalu ingin menjadi yang lebih tersakiti jika sudah dihadapkan dengan masalah. Tapi saat ini aku dan kamu adalah bukti nyata, Sal. Aku yang ngotot ingin menjadi yang lebih mencintai dan kamu yang ngotot ingin menjadi lebih menyayangi. Terkadang sebuah keegoisan seperti itu yang membuat sebuah hubungan bertahan, Sal.”

Empat detik setelah itu Achsal menarik pinggang Tiara agar dirinya mendekat pada tubuhnya. Tangannya menangkap sebelah pipi Tiara dengan perlahan. Disentuhnya lembut bibir itu dengan ibu jari Achsal. Wajah mereka terus mendekat, kian mendekat hingga akhirnya mereka hanya ada dalam jarak 5 cm. Dua pasang mata sayu itu saling memejamkan kelopaknya. Kedua bibir itu bersentuhan. Menciptakan gemercik yang membuat aliran darah di seluruh tubuh mereka mengalir deras. Sengatan listrik seketika terasa pada sendi-sendi keduanya. Mereka jatuh dalam cinta.

Achsal dan Tiara saling menautkan bibirnya. Merasakan sensasi yang selama ini belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Rasa bahagia yang takkan pernah bisa orang lain rasakan jika belum pernah mencobanya. Ciuman manis itu adalah ciuman pertama Achsal walau bukan ciuman pertama Tiara. Dan itu adalah malam di mana Achsal merasa menjadi lelaki paling bahagia sejagat raya. Yang akhirnya baru ia sadari saat ini bahwa dirinyalah yang salah menilai sosok Tiara selama ini.

“Semua orang itu sama. Gue, lo, dan bahkan orang-orang yang saat ini ada di dalam penjara pun akan selalu bilang bahwa diri ini adalah diri yang paling tersakiti!”

Choco Milk OreoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang