Bagian 17 - Melebih-lebihkan Keadaan yang Sebenarnya

31 14 0
                                    

Sudah sangat lama Achsal tak lari pagi. Teknik Industri membuatnya kehilangan waktu-waktu luangnya. Dan Minggu pagi ini ia menyempatkan untuk jogging di sekitar danau galau.

Setelan jogging yang dipakai Achsal kali ini tidak menarik perhatian. Ia mengenakan jaket Converse hitam dengan celana olahraga berwarna abu-abu yang waktu itu ia beli di Sport Station. Perpaduan warna yang benar-benar tak menarik perhatian sedikitpun. Namun yang membingungkan adalah sorot mata orang-orang di sekitarnya yang tertuju padanya. Achsal sampai sempat berhenti sejenak untuk mengaca pada layar handphone-nya.

Perasaan muka gue nggak kenapa-napa, batin Achsal. Ia masukkan kembali handphone tersebut ke dalam sakunya. Kemudian ia mulai berlari kecil kembali. Lari kecilnya lama-lama berubah menjadi lari yang sedikit lebih cepat dan konstan. Dada yang naik turun itu menandakan bahwa napasnya agak berat dan ia merasa degupan jantungnya pagi ini terasa bugar kembali setelah sekian lamanya tak melakukan olahraga. Perlahan bintik-bintik keringat bermunculan di wajah dan lehernya.

Dalam jogging-nya yang terasa menyenangkan itu, tiba-tiba pikirannya terbayang kejadian tadi malam saat Naufal mampir ke kamarnya untuk berbagi makanan karena Naufal kelebihan lauk makanan di kamarnya.

"Nih, buat maneh. Suka rendang, kan?"

"Widiiih! Thank's, ya. Kalau rendang mah gue suka banget, Fal."

Sambil mengeluarkan rendang itu dari plastik, Naufal mengajak Achsal ngobrol soal percintaannya-apalagi kalau bukan soal Sherly?

"Ngomong-ngomong nih, maneh gimana sama Sherly? Aing liat kayaknya kalian berdua makin deket," Naufal menahan tawa menggodanya. "Apalagi kemarin kalian duduk sebelahan pas matkul Pak Arju, kan? Ciaaa, ada kemajuan nih kayaknya."

Ledekan Naufal membuat Achsal sedikit risih. Achsal berdecak sebal mendengarnya dengan tangan yang sedang berusaha membuka plastik yang berisi rendang pemberian Naufal itu.

“Apaan, sih?” Hindar Achsal dari pembicaraan itu.

Naufal tertawa melihat Achsal seperti itu.

Maneh tau nggak, sih? Sherly tuh suka banget sama maneh. Dia suka sama maneh sampai yang kayak pengin banget nikah sama maneh suatu saat nanti tau!”

Achsal yang saat ini sedang minum langsung tersedak. Ia batuk hebat. Naufal mengelus-elus punggung temannya yang sedang batuk hebat itu.

Setelah batuknya mereda, Achsal angkat suara dengan nada yang sedikit meninggi. “Serius lo?”

Naufal mengangguk.

“Sampai kayak pengin nikah sama gue gitu???”

“Iyaaa.”

Seketika Achsal bergidik ngeri. Ngeri bukan main. Bulu kuduknya hingga berdiri sempurna. Tubuhnya merinding seketika. Ia geli sekaligus jijik mendengar penjelasan dari Naufal tadi. Nikah? Sama gue? Hih, enak aja lo, batinnya.

Dan sejak saat itu, Achsal menjadi semakin enggan untuk berdekatan dengan Sherly. Ia berpikir bahwa dengan sikapnya yang tidak terlalu tegas Sherly akan terus-terusan melunjak padanya. Tidak. Achsal tidak bisa tinggal diam. Ia harus mengambil jalan lain. Achsal tak bisa terus-terusan merasa was-was seperti ini.

Hatinya berdegup kencang saat membayangkan seperti apa nantinya jika yang barusan dikatakan Naufal benar-benar terjadi. Ia membayangkan seperti apa jadinya jika ia benar-benar menikah dengan perempuan seperti Sherly? Ew. Geli.

Seketika Achsal menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ia lebih memilih untuk tidak terus-terusan mengingat apa yang tadi malam Naufal ungkapkan padanya. Achsal melanjutkan jogging-nya dengan penuh semangat. Larinya semakin kencang mengingat bulan ini ia banyak memakan makanan junk food.

Choco Milk OreoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang