Tak berjudul

174 23 13
                                    

Sugeng rawuh...

(Edisi spesial ultah abwank!)

*
*
*

Hari ini peringatan tahun ketiga pernikahannya dengan Yoongi, dan Jimin selalu mendapat pertanyaan yang sama.

"Kapan mau punya momongan?"

Jimin akan berusia dua puluh lima tahun sebentar lagi, tergolong masih muda dan sudah pas untuk punya generasi penerus, katanya.

Yoongi merangkul pinggang Jimin saat menyadari perubahan ekspresi pasangan sehidup sematinya. Ini acara ulang tahun pernikahannya, tapi tampaknya Jimin sudah kehilangan mood untuk melanjutkannya.

Yoongi membawa Jimin ke luar ruangan, menghindar dari serangan pertanyaan mengenai momongan dari para tamu. Yoongi mendudukkan Jimin di bangku dan berlutut di hadapannya, menggenggam tangan mungil Jimin yang gemetar dan sedikit basah.

"Kita pulang saja, ya?"

Jimin menjatuhkan kepalanya di bahu Yoongi, sedetik kemudian Yoongi merasakan bahunya basah dan menghangat, Jimin menangis.

Pada akhirnya, Yoongi menggendong Jimin di punggungnya dan pulang lebih awal, meninggalkan acara yang seharusnya menjadi hari bahagia untuk mereka.

***

Saat itu, Jimin berusia delapan tahun, orang tuanya bertengkar hebat hingga lusinan piring dan gelas yang pecah berserakan di lantai rumah, dan satu serpihan yang terlempar mengenai betisnya.

Sakit sekali.

Namun rasa sakit di betisnya tak mampu mengalahkan sakit di dadanya, saat melihat ibunya yang membentak pada sang ayah, dan ayahnya juga melakukan hal serupa pada ibunya, ditambah berbagai macam perabot yang melayang ke segala arah, begitu sakit hingga rasanya ingin mati saja.

"Apa kau pikir aku ingin melahirkan anak sialan itu?!"


"Ibu... Ayah..."

Keduanya menoleh, dan segera memeluk bocah kecil itu agar berhenti menangis. Jimin memeluk erat kedua orang tuanya, meski pada akhirnya ibunya memilih pergi.

Ibunya belum siap memiliki anak, dan Jimin lahir dari sebuah kecelakaan yang orang tuanya lakukan saat berusia  tujuh belas tahun. Kelahirannya menghalangi sang ibu menjemput cita-citanya sebagai pramugari.

Ayahnya kemudian membawanya pindah ke tempat yang jauh dari perkotaan, ke daerah pelosok yang terpencil. Ia kira di sini akan jauh lebih baik, nyatanya sama saja.

"Dasar anak tak tahu diuntung!"

"Menurun dari siapa sifat burukmu ini, hah?!"

"Bila kutahu begini kau saat besar, harusnya kau tak usah lahir saja!"

Jimin mendengar semuanya. Semua umpatan dan ucapan yang sama dengan yang pernah ia dengar dari ibunya, meski itu bukan ditujukan padanya dan yang mengucapkannya juga bukan ibunya. Lingkungan yang ia tinggali adalah tempat orang-orang dengan rumah tangga yang bermasalah, entah karena perceraian, atau kecelakaan seperti orang tuanya, dan anak-anak yang hidup di tempat ini seolah jadi samsak tinju bagi orang tuanya.

Biasanya, ayahnya akan menutup telinganya dengan tangan besarnya yang hangat, tapi kini ayahnya pun sedang frustasi dengan lilitan hutang yang mencekik, hingga tangannya yang biasa menutup telinga Jimin kini ia gunakan untuk menjambak rambutnya sendiri atau memukul dinding.

Hari-hari yang Jimin lewati membuatnya selalu ingin bunuh diri, hingga Jimin bertemu Yoongi yang saat itu adalah senior tahun ketiga di kampusnya, membuat ketakutannya sehari-hari dapat terkikis. Ayahnya menjadi pemabuk saat ia SMA dan semakin parah saat ia memutuskan tinggal bersama Yoongi, katakanlah bahwa Jimin ingin lepas dari ayahnya.

Sebaris KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang