2

109 9 3
                                    

"Kamu jangan ikut campur urusanku, Ferdy!" Suaranya meninggi, sambil ia berlalu dari ruang tengah menuju kamar. Aku mengekor di belakang.

"Siang malam aku bekerja untuk keluarga ini ...." Dia berhenti tepat di depan kamar kami, membalik badan.

Jari telunjuknya menunjuk-nunjuk ke dadaku.

"Jadi, jangan pernah kamu menuduhku yang aneh-aneh."

"Ingat itu, Ferdy!" Matanya melotot tajam padaku. Mengancam.

"Bukan begitu maksudku, Sher . Aku ini suamimu, apa salahnya bertanya." Aku membela diri.

"Sekarang ini sudah hampir jam sebelas malam ...."

"Apa salah jika aku tanya, kamu dari mana?" Tanganku memegang tangannya, suara melembut, berusaha meredakan suasana.

"Nggak salah! Tapi aku nggak suka didikte!" Dia menepis tanganku, berbalik dan berlalu pergi.

Untuk kesekian kalinya kami bertengkar, hanya karena masalah sepele.

Empat bulan terakhir ini dia sering pulang malam, bahkan kadang tidak pulang.

Perangainya mulai berubah setahun lalu, tepat beberapa bulan setelah dia diangkat sebagai kepala cabang bank, tempat dia bekerja.

Empat tahun lalu aku di-PHK bersama ribuan pekerja lain. Perusahaan tempatku bekerja nyaris bangkrut.

Awalnya aku khawatir, ini bisa menjadi pemicu konflik dalam rumah tangga kami.

Tapi, Sherina meyakinkanku, tidak ada yang akan berubah.

Kamipun berkomitmen akan selalu menjaga keutuhan dan keharmonisan rumah tangga kami, apapun yang terjadi, terlebih demi putri semata wayang kami.

Aku hanya bisa bekerja serabutan, dan menjadi driver online dengan menggunakan motor yang dulu sering dipakai istriku.

Sherina lebih sering menggunakan mobilku, sejak jabatannya sedikit demi sedikit naik. Sedangkan aku, sangat sulit mencari pekerjaan.

Keadaan ekonomi yang tak menentu, membuat banyak perusahaan tidak menerima karyawan baru, justru malah memecat sebahagian karyawannya.

Keadaan ini membuatku lebih banyak menghabiskan waktu dirumah. Mengurus semua pekerjaan yang seharusnya dikerjakan seorang istri.

Memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, bahkan terkadang aku diminta untuk memijat istriku, selepas dia pulang bekerja.

Semua kukerjakan dengan ikhlas, karena mengerti keadaan kami. Saat ini, istrikulah penopang rumah tangga.

Hanya satu yang menjadi pelipur lara, mengurus dan menemani putri kami. Itu yang membuat hatiku tenang dan selalu bersemangat mengerjakan segalanya.

Demi dirinya.

Beberapa pekan terakhir ini, Sherina lebih tertutup padaku. Aku tak boleh menyentuh gawainya, tak boleh bertanya dia dari mana, karena dia akan langsung marah, dan terkadang mengeluarkan makian.

Kadang dia bisa menjadi sangat baik padaku, terutama jika dia sedang butuh untuk dipijat.

Bila dia sedang letih, pasti dia akan datang dan merayu, membuatku memijat tubuhnya sampai dia tertidur.

Lalu meninggalkanku dalam keheningan. Sendiri.

Terkadang pula dia sangat baik padaku, jika dia menyuruhku untuk untuk memasak berbagai jenis hidangan, saat dia mengundang kawan-kawan sekantornya atau relasinya makan malam di rumah kami.

Dan saat itulah, momen di mana kami bisa duduk bersama sebagai pasangan yang hangat dan romantis.

Hanya saat itu.

Selebihnya aku terasa seperti pesuruh di rumah ini.

Aku juga bukan pria yang bodoh.

Aku tahu dia sedang menjalin hubungan dengan orang lain.

Dan ada kawan sekantornya yang membantuku.

Parto.

Dialah yang selalu memberiku informasi, mengirim semua bukti-bukti perselingkuhan istriku.

Untuk mempertahankan rumah tangga ini, aku hanya bisa diam dan menurut.

Karena aku tahu posisiku.

Aku tahu keadaanku.

Aku bisa apa?

Pertanyaan dan protes hanya berbuah makian untukku dan kekisruhan yang tak kuinginkan dalam rumah tangga ini.

Anakku, SayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang