C.Y.D Bab 6

5.8K 499 40
                                    

Riyuji masih memeriksa Bian, ketika melihat tanda cupang di leher, puting terluka, dan tanda cupang lainnya di tubuh Bian Riyuji pun menanyakannya.

"Apakah anda seorang Gay?" tanya Riyu hati-hati.

Bian sempat terhenyak, kemudian ia tersenyum dan berbicara. "Apakah di rumah sakit ini tidak dapat menerima seorang pasien gay? Apakah dokter Riyuji keberatan menangani saya?"

Suara Bian terdengar santai dan tidak ada rasa khawatir sama sekali, mengingat ia sedang sakit dan tidak ada rasa canggung terhadap dokter Riyuji. Lalu dokter Riyuji kembali berbicara.

"Bukan begitu, maksudku. Tolong berhenti membuat tanda dan melukaimu, ini hanya akan memperparah keadaan. Dan berhentilah melakukannya, jika dia benar-benar mencintaimu, dan dia tahu kamu sakit, pasti dia tidak akan melakukannya. Tetapi, dimana dia, aku bahkan belum pernah melihatnya mengantarkan kamu berobat atau cek up?" ujar Riyuji.

"Aku bahkan belum pernah memberitahunya tentang penyakitku ini, bahkan jika dia tahu dia juga tidak akan perduli, dia hanya menjadikan ku budak napsunya bukan sebagai cintanya. Padahal di luaran sana aku sangat yakin dia pasti sedang bersenang-senang." sahut Bian lagi.

"Maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk..." ujar Riyu.

Bian hanya tersenyum lalu ia pun perlahan mengiyakan kata-kata Riyuji.

Flashback End....

Bian masih terdiam dan kemudian mendorong tubuh Glen kembali, tetapi kekuatan Glen melebihi kekuatan Bian yang lemah dan rapuh. Jika seseorang tidak tahu, orang akan menganggap Bian baik-baik saja, tetapi perubahan pisik yang di alami Bian membuat orang pasti curiga termasuk Glen.

"Badanmu kurus sekali, apa kau memakai narkoba?" seru Glen.

"Tidak, aku hanya kehilangan napsu makan ku akhir-akhir ini. Makanan sudah siap, ayo makan." sahut Bian.

Glen mengangguk, sementara Bian melayani Glen layaknya seorang istri. Memang istrinya sih, tapi yah... Aktivitas makan itu pun berlangsung sementara Bian hanya menghabiskan setengah dari bubur milletnya. Kemudian Glen pun bersuara dengan nada meledek.

"Wajar jika kau terlihat kurus, makan mu sedikit. Ayo habis kan makananya aku akan menyuapimu, hmm." seru Glen.

Sebenarnya Bian merasa kenyang setiap kali ia meminum obat. Karena Glen memaksakan, akhirnya Bian menghabiskan makanan itu. Meski mulutnya sering merasakan pahit dan tidak nyaman. Aktivitas makan itu selesai, tidak lama kemudian ponsel Glen berdiring. Ia mengangkat telpon itu, lalu ia pun buru-buru berpakaian dan pergi meninggalkan Bian.

"Maafkan aku sayang, aku janji setelah semua urusanku selesai aku akan lebih banyak waktu untuk menemanimu, hari ini banyak kerjaan di kantor, aku pergi dulu." ujar Glen sambil mencium kening Bian.

Bian hanya mengangguk dan melambaikan tangannya, merasa lega Glen pergi karena Bian harus segera kerumah sakit. Bian mengenakan mantel hangatnya dan syal, lalu pergi menggunakan kendaraan umum. Bukan Bian tak memiliki uang untuk tidak membeli mobil pribadi, tetapi Glen melarangnya. Bian melirik ke arah jendela bus yang ia tumpangi, matanya terbelalak lebar dan hatinya sangat sakit, ketika apa dan siapa yang ia lihat. Glen dan Dong Hae bermesraan di depan umum tanpa rasa canggung. Air mata mengalir begitu saja, kemudian menghapus air matanya dan tersenyum miris.

Bus itu sampai di tempat tujuan, Bian berjalan kearah rumah sakit, Bian sempat ragu dan merasa malu karena takut Riyuji akan menyinggung masalah tanda itu lagi. Tetapi jika ia tidak masuk, maka ia tidak akan sembuh. Ke inginan dan tekad nya untuk sembuh bukan karena ia ingin terus bersama Glen, melainkan ia ingin menikmati hidupnya lebih lama. Bian pun menuju keruangan dokter Riyuji, tetapi masih harus menunggu karena masih ada pasien lain. Bian duduk di ruang tunggu, banyak pasien yang mengeluh akan penyakit yang sama, bahkan ada anak kecil yang sudah putus asa. Bian tersenyum miris, saat melihat ada keluarga yang menjaganya, merawatnya dan menyemangati anak itu, sementara Bian hanya sendirian.

Bian menyemangati dirinya sendiri, matanya merah karena menahan tangis. Tidak lama kemudian Riyuji keluar dan memanggilnya. "Bian, giliranmu."

Bian terperanjak dan langsung tersenyum ke arah Riyuji, meski tersenyum tetapi air mata mengalir begitu saja. Riyuji yang melihatnya tidak sanggup dan langsung memeluk Bian. "Jangan menangis aku mohon,"

Bian terisak, Riyuji membawanya masuk kedalam kantornya. "Apa yang membuatmu menangis?"

Riyu menghapus air matanya, kemudian Bian berbicara. "Aku hanya merasa sedih dan iri melihat mereka yang sakit ditemani oleh keluarga dan saudara mereka. Sementara aku,"

"Ada aku yang akan menemanimu. Jangan khawatir, hari ini adalah kemoteraphi kedua. Aku akan berusaha memberikan perawatan terbaik untukmu." ujar Riyuji.

Bian mengangguk, kemoteraphi itu pun berlangsung, melihat tubuh Bian yang kurus dan kesakitan. Entah kenapa hati Riyuji sangat tersiksa dan sakit. Hati Riyu semakin sakit kala melihat air mata itu. Kemoteraphi itu selesai, dan Bian di kembalikan kekantor milik Riyuji. Meski ia melihat tanda cupang di badan Bian, ia tidak menyinggungnya lagi. Walau sebenarnya hatinya sangat sakit melihat tubuh orang yang ia cintai memiliki tanda dari orang lain.

"Kemoteraphinya sudah selesai, tetapi aku tidak ingin pulang kerumah. Aku tidak memiliki kegiatan apapun selain tidur, membaca, dan melakuka tugas rumah." ujar Bian.

"Tunggu sebentar, aku punya sesuatu untukmu." Riyuji pergi kebelakang dan mengambil satu pot bunga Anggrek yang cantik.

"Ini, lakukan kegiatan baru. Mungkin merawat bunga ini akan membantu." ujar Riyuji.

Bian terdiam, merasa heran kenapa Riyuji memberinya bunga semahal itu. Lalu ia pun berbicara. "Dokter, anggrek ini sangat mahal, kenapa dokter memberiku ini?"

"Aku memiliki beberapa di rumah, jadi tidak masalah jika aku memberikan satu untukmu. Lagi pula harga bunga ini tidak sebanding dengan kebahagian orang di hadapanku ini." ujar Riyuji.

Bian tersenyum kemudian ia pun mengambil anggrek itu. "Aku akan merawatnya untukmu,"

"Baiklah, aku akan mengantarkanmu pulang. Tetapi selama ini aku masih bertanya-tanya, apakah dia belum tahu?" ujar Riyuji.

"Aku belum memberi tahunya. Jika dia tahu pun ia tak akan pernah perduli, meski selama sepuluh tahun ini kami hidup bersama, menjalani hubungan yang tidak tahu harus di bawa kemana dan tidak ada arahnya. Dia berjanji kepadaku akan membahagiakanku, akan terus bersamaku, akan terus mencintaiku hingga maut memisahkan. Tetapi seiring bertambahnya usia, rasa cinta itu akan hilang seiring waktu yang berjalan." ujar Bian sambil menghela napas.

Riyuji hanya diam, kemudian melihat Bian tersenyum seakan-akan semua beban hilang di pikiran Riyuji. Dulu sewaktu masih SMA Bian memiliki banyak penggemar baik pria mau pun wanita. Bian memiliki senyuman yang manis juga mampu melelehkan hati semua yang memandangnya. Bahkan senyuman itu tidak hilang dari bibir pucatnya. Dulu bibirnya merah ranum, wajah mulus dan berseri. Tapi kini wajah pucatnya nyaris sama dengan dinding dan seprai tempatnya terbaring.


Bersambung.....


Hai jangan lupa Vote dan komennya ya... aku gak tau knp nulis cerita ini aku ikutan nangis.

 aku gak tau knp nulis cerita ini aku ikutan nangis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BL- Cinta Yang Dalam (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang