Beberapa menit Draco dan Harry saling berpelukan. Tidak merasakan sesuatu yang mengganjal diantara keduanya. Hanya perasaan nyaman yang mereka rasakan. Harry sendiri merasakan sesuatu yang berbeda saat ia dulu bersama Cedric. Jika dibandingkan dengan Cedric, Harry jelas lebih memilih sosok yang dipeluknya sekarang. Pelukannya begitu hangat dan seolah-olah memberitahunya bahwa sosok itulah yang diinginkan dan dibutuhkannya.
Suasana café yang masih sepi menambah nuansa kenyamanan diantara keduanya. Pelayan-pelayan tidak terlihat. Sepertinya mereka berada dibelakang. Memilih untuk bergossip sehingga lupa pada dasarnya mereka disini dikumpulkan untuk bekerja bukannya malah bergossip. Keadaan luar café cukup ramai, akan tetapi siapa yang mau memerhatikan dua pemuda yang kini sedang berpelukan? Alih-alih memerhatikan keduanya, mereka lebih memilih fokus pada jalan agar tidak terjadi sesuatu yang tak diinginkan dan segera sampai tujuan tepat waktu.
Semua ini memberitahu kedua pemuda itu bahwa mereka memang ditakdirkan untuk berpelukan satu sama lain dalam kurun waktu cukup lama? Atau bahkan memberitahu keduanya bahwa sesungguhnya mereka saling menginginkan satu sama lain. Akan tetapi pada kenyataannya perasaan keduanya disembunyikan dan tidak dapat disampaikan sekarang. Sepertinya momennya kurang pas. Lalu mau berapa lama lagi mereka dapat memendam itu semua? Bukankah lebih cepat lebih baik? Sebelum seseorang berada diantara keduanya dan mengambil salah satu untuk dijadikan miliknya untuk selamanya.
"Hek hemm." Suara itu mengagetkan Draco dan Harry. Secara spontan, mereka melepaskan pelukannya.
"Kau harus traktir kami sekarang juga, Draco." Blaise tersenyum lebar diikuti Theo.
Harry yang mendengarnya hanya menahan senyum dan mukanya sudah merah. Ia malu kejadian tadi dilihat oleh sahabat Draco. Kemudian ia juga tersadar kalau apa yang dilakukannya tadi itu perbuatan yang salah. Memangnya hal untuk berterimakasih harus dengan berpelukan? Tidak juga.
Harry menelan salivanya, kemudian berkata permisi kepada Draco dan meninggalkan mereka bertiga untuk segera memberitahu pelayan bahwa sudah ada pelanggan. Sebenarnya tujuannya bukan itu, tetapi lebih untuk menjauhkan dirinya dengan pertanyaan macam-macam yang dilontarkan Blaise maupun Theo.
KREEK
Pintu telah dibuka dan menampilkan sosok pemuda berkacama dengan rambut acak-acakan dan mukanya yang masih merah. Harry hanya tersenyum lemah kemudian duduk diantara para pelayan. Ia berharap kejadian tadi juga tidak dilihat oleh mereka.
"Harry, kau baru datang?" Cho meletakkan korannya ke atas meja.
"Tidak juga. Sekitar beberapa me-eh didepan ada temannya Draco. Eh maksudku Tuan Draco. Sepertinya mereka mau pesan sesuatu." Harry berusaha mengatur suaranya seolah-olah tidak ada yang terjadi. Ia juga sedang berusaha menyembunyikan mukanya yang masih merah.
"Oh baiklah." Parvati bergerak maju dan menyamber kertas dan pulpennya, kemudian meninggalkan ruangan.
"Harry kau tidak apa-apa kan? Aku khawatir ada yang terjadi padamu."
"Aku baik Lavender dan aku sangat berterimakasih kepadamu. Kau telah melakukan tugasku. Ada sesuatu yang membuatku tidak dapat kesini tepat waktu. Sungguh aku tidak menginginkan itu, Lav."
"Aku mendengarkan kau memanggilku Love." Lavender nyengir
"Kau sangat menggemaskan sekarang. Mukamu merah dan kau memanggilku Love. Sungguh manis sekali. Percayalah aku tidak akan menolakmu sekarang." Lavender terkekeh sedangkan Pansy hanya memutarkan bola matanya.
"Sungguh beruntung. Coba kalau Nyonya Narcissa disini. Kau akan tamat." Pansy berbicara pelan sedangkan Cho dan Lavender seperti tidak mendengarnya dan lebih memilih mengabaikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Yours
FanfictionKarena semua itu berawal dari mimpi yang akhirnya dapat berubah menjadi kenyataan. Tapi apakah itu benar? Karena sebagian mimpi hanya sebuah khayalan [24 Agustus 2019]