What a Man

54 7 0
                                    

"Aku tidak bisa hidup hanya dengan makan cinta, Taehyung."

"Aku tahu. Maka dari itu, aku akan berjuang demi kita."

"Ibuku bilang, ucapan anak SMA sama dengan omong kosong. Bagaimana aku bisa percaya padamu?"

"Ibumu tidak salah bilang begitu. Tapi, well, aku serius. Peganglah ucapanku. Jungkook, kau boleh minta rumah tingkat tiga kalau kau mau."

Awalnya, aku tidak menaruh harapan barang setitik pun pada kalimat Taehyung. Aku yakin—kau mungkin juga merasa begitu—bahwa pemuda itu akan menyerah setelah dua atau tiga bulan bekerja paruh waktu.

Meski sepertinya aku terlalu menganggap remeh perkataannya.

Empat bulan pertama, dia mampu membelikanku sneakers yang sudah kuidam-idamkan selama periode musim panas. Setelah kutanya berapa harga sepatu itu, Taehyung hanya tersenyum dan berkata bahwa harganya tidak penting, yang terpenting adalah apakah aku suka atau tidak dengan sepatu itu.

Tentu saja aku menyukainya! Meski aku baru tahu belakangan bahwa Taehyung harus menerima hukuman pukul dari ayahnya karena sering pulang malam dan tidak mengerjakan tugas rumah.

Setahun kemudian—saat kami baru saja memasuki perguruan tinggi—Taehyung datang pukul empat sore tepat di depan halaman rumahku; ia membawa banyak sekali barang. Kemudian saat ia mulai mendekat, aku baru sadar bahwa ia membelikanku ransel navy blue yang beken, satu paket buku jurnal, alat tulis, dan kotak pensil. Taehyung bilang, menjadi seorang mahasiswa adalah hal yang penting, dan aku harus memiliki barang-barang tersebut untuk bisa menunjang kehidupan kuliahku.

Dan meskipun aku pura-pura tidak tahu, tapi aku tahu bahwa ia memotong separuh pesangon kuliahnya untuk membelikanku barang-barang tadi.

Tiga tahun terlewat dan kami pun lulus. Taehyung bilang dia akan bekerja di perusahaan swasta sebagai penerjemah bahasa. Aku melihat kesungguhannya bekerja dan menyemangatinya siang-malam tanpa henti. Gaji pertamanya ia gunakan untuk membeli cincin pernikahan kami, meski kemudian aku menyadari bahwa wajahnya begitu tirus karena sedang berhemat mati-matian demi cincin itu.

Tak lama selang, kami berdua menikah. Aku masih memegang janjinya dan ia masih ingat bahwa aku, seorang Jungkook, tidak bisa hidup hanya dengan makan cinta. Maka Taehyung terus bekerja seorang diri hingga aku merasa sangat bersalah padanya. Saat aku hendak melamar pekerjaan—karena, hey, aku juga sarjana—Taehyung melarangku dengan alasan tidak ada yang menyambutnya di rumah saat ia pulang kerja. Jadi aku menurut dan menghasilkan uang sendiri dengan bisnis online. Pada tahun kedua pernikahan kami, dia sudah bisa membelikanku rumah tingkat tiga.

"Rumah sebesar ini akan berguna." Ucapnya.

"Untuk apa?"

"Untuk anak-anak kita! Dokter bilang kau mengandung anak kembar, sebentar lagi kau melahirkan. Lantas, siapa yang bisa jamin kau tidak hamil lagi beberapa tahun ke depan? hehe"

Selama proses mengandung yang berat, Taehyung selalu membelikan apa yang aku mau, dia siap sedia menjadi sasaran tinju jika hormonku tidak stabil dan aku akan marah dengan mudahnya. Kemudian saat enam tahun terlewati seperti enam detik, Taehyung telah berhasil membiayai uang sekolah anak-anak kami.

Sekarang, saat kami sudah begitu renta untuk masalah uang, Taehyung berbisik padaku. "Maaf ya, aku tidak bisa lagi bekerja."

"Kau sudah berbuat banyak untukku."

"Untuk kita maksudmu?"

"Ya, untuk kita. Maka dari itu, jangan memaksakan diri lagi. Aku tidak sanggup melihatmu terbaring lemah begini."

"Jangan sedih, dua hari lagi aku bisa pulang."

Kemudian Taehyung pulang dari rumah sakit dengan membawa kabar penyakitnya kepada ketiga anak kami. Mereka berjanji akan bahu-membahu membiayai biaya perawatan ayah mereka. Meski—tanpa sepengetahuan ketiganya—Taehyung-lah yang membantu mereka mendapatkan pekerjaan di kantor-kantor ternama. Hanya karena mereka anak seorang Taehyung, perusahaan-perusahaan itu mau menerima ketiganya dengan tangan terbuka. Meski demikian, ketiga anak kami membuktikan bahwa mereka pantas bekerja di sana.

Terakhir, Taehyung bilang padaku bahwa jika ia mati terlebih dahulu, aku masih bisa menikmati hari tua dengan penghasilan dari anak-anak dan uang pensiunnya.

Dan pada akhirnya aku pun tahu, ucapanku dulu mengharuskan Taehyung menanggung beban hidup yang lebih berat dari seharusnya. Meski aku menyesalinya sekarang, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Dia telah membuktikan bahwa dia pantas menjadi seorang laki-laki, suami, dan seorang ayah bagi keluarga kecil kami.

.fin

Taekook happy family yeh 

Chaîne de Tristesse | v.kTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang