8. Kuah Sama Dihirup, Sambal Sama Dicolek

16 1 0
                                    

Rencananya untuk menjenguk Letta di Singapura ditunda hingga Marco pulih dari sakitnya dan bisa beraktivitas seperti biasa. Marco anak rantau, orang tuanya menetap di negara lain sehingga memaksanya untuk tinggal sendiri, ia tak sampai hati meninggalkan Marco sendiri dengan keadaan lemah tak berdaya.

"Marco bangun, kau harus meminum obatmu."

Dengan lemah, Marco bangun dari posisinya dibantu oleh Keyla. Ia kemudian meminum obat yang diberikan gadis itu.

"Terimakasih, Letta." Marco kemudian kembali menutup matanya.

Sepulang sekolah, Keyla selalu datang ke rumah Marco untuk merawatnya. Membuatkannya makan, mengingatkan jam minum obat, memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya yang pemuda ini tidak bisa lakukan dalam keadaan sakit. Kejadian ini terus berulang hingga 3 hari lamanya.

Setelah merasa lebih baik, Marco memutuskan untuk berangkat ke sekolah, sedangkan Keyla memilih untuk pergi ke Singapura untuk menjenguk kembarannya yang sempat tertunda karena kondisi kesehatan Marco.

Setiap bel istirahat dan bel pulang sekolah, Marco selalu menghampiri kelas Keyla. Namun kali ini, gadis itu tak tampak sama sekali. Ia memutuskan untuk menghubungi Keyla.

"Halo Letta, apa kau baik-baik saja? Apa aku menularkan virus kepadamu? Apa kau sakit? Kau dimana?" Pertanyaan bertubi-tubi menyerang Keyla.

"Hey tenanglah! Aku baik-baik saja. Aku hanya izin karena harus menghadiri pertemuan keluarga di Singapura. Bagaimana keadaanmu, masih terasa tidak nyaman?"

"Ah ya aku lupa, kau sudah memberitahuku kemarin. Aku sudah 100% sehat! Berkat dirimu."

Sebuah senyuman terbit di bibir Keyla.

"Tidak, itu semua karena kau berkeinginan keras untuk sembuh, aku hanya membantu sedikit."

"Ya, tapi karena kau merawatku kemarin, aku jadi ingin sakit lebih lama supaya kau selalu merawatku."

"Hey jaga mulutmu! Omongan adalah doa, kau tahu?!"

"Hahaha, gadisku memarahiku. Kau tahu? Aku di sini laksana jentayu menantikan hujan."

"Apa itu?"

"Aku sangat merindukanmu, Letta."

Keyla tersenyum kecut. "Aku juga merindukanmu, Marco."

Perbincangan mereka berlanjut hingga waktu istirahat telah selesai dan pesawat Keyla sudah harus lepas landas. Mereka mengakhiri teleponnya. Hati Keyla menghangat karena dilihat dari tindak tanduknya, pemuda itu benar-benar menyayanginya. Tidak. Menyayangi kembarannya. Ya, Marco sebenarnya adalah kekasih Letta yang sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Ia hanya mengisi kekosongan hari-hari Marco atas Letta, dan sedikit berkeinginan untuk merasakan curahan perhatian dan kasih sayang dari pemuda yang selama ini ia kagumi.

Ia harap, ia tidak terperosok terlalu dalam di skenario yang ia mainkan.

***

Setelah sampai, ia segera berjalan cepat menuju ruangan diman Letta berada. Di atas ranjang hijau dengan kamar dominasi putih serta bau khas rumah sakit, terbaring kembarannya. Selang oksigen masih terhubung ke hidungnya. Ia rasa, Letta dibius tidur untuk mengistirahatkannya. Dengan langkah gontai dan air mata yang hampir tumpah, Keyla mendekat.

Setiap melihat Letta berobat, perasaan itu selalu muncul di hatinya. Perasaan kesal, marah, kecewa pada dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga saudarinya. Ia selalu menyesal dan berteriak kencang dalam hatinya.

"Harusnya aku yang terbaring di sana! Harusnya aku yang menderita!"

BraggerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang