6. Ditiarapkan Tiada Keluar, Ditelentangkan Tiada Masuk

16 1 0
                                    

"Jangan merindukanku, ya?"

"Tidak akan."

Mereka berpelukan untuk yang terakhir kalinya karena pesawat sebentar lagi akan berangkat. Letta harus meninggalkan negara tempat kelahirannya untuk pengobatan yang rutin dilakukan tiga bulan sekali selama sebulan penuh di Singapura.

Setiap melihat kembarannya harus berobat, Keyla selalu berharap bahwa seharusnya dirinya saja yang lemah, jangan Letta.
Keyla kembali ke rumah dengan suasana hati yang kian mengeruh semenjak ia memergoki Letta dan Marco menjalin hubungan lebih dari teman. Entah akan seperti apa hari-harinya nanti, karena suasana hati sangat mempengaruhi segala aspek kehidupan Keyla.

Pukul 6 tepat, Keyla harus cepat kembali ke rumah dan memasak makan siangnya dan Marco. Meskipun pemuda yang tak mengetahui keneradaannya itu menyakiti relung hatinya, Keyla tetap akan membuatkan bekal makan siang untuk pemuda berhidung bangir bak seludang itu.

Tanpa sedikitpun senyuman ia meracik segala macam bumbu dapur. Menu hari ini adalah sup ikan patin serta udang goreng tepung, menu favoritnya. Setelah selesai, Keyla langsung membersihkan diri dan berangkat ke sekolah.

Rutinitasnya dijalani seperti biasa, menitipkan bekal untuk Marco, menyimpan ponselnya, diam di kelas, makan siang, belajar dengan sepenuh hati, hingga jam pulang sekolah tiba.

Ia membereskan mejanya, memasukkan buku-buku ke tas dan bersiap untuk pulang sebelum seseorang penepuk bahunya.

"Hey!"

Dengan jantung yang seolah jatuh ke perutnya, Keyla menampilkan senyuman kikuk pada seseorang yang menegurnya. Marco.

Ia melupakan satu hal. Kelas 12 sudah menyelesaikan programnya dan mereka diperbolehkan memilih untuk tetap di gedung barat atau kembali ke kelasnya di gedung utama yang bercampur dengan kelas 10 dan 11. Dan karena kekasihnya berada di gedung utama, Keyla asumsikan Marco tentu saja akan memilih kembali ke kelas di gedung utama agar lebih dekat dengan kembarannya.

Sayangnya, Marco tak akan bisa menemui Letta sampai bulan depan.

"Kau memandangku seperti belum bernah bertemu denganku saja."

Keyla tersentak, ia kemudian memalingkan wajahnya malu karena terpergok memandangi wajah lawan jenisnya dengan tatapan yang tidak biasa. "Aku antar pulang?"

Lagi, gadis ini tersentak. Gelengan menjawab pertanyaan Marco membuat pemuda itu melengkungkan bibirnya ke bawah tanda sedih. "Aku bawa mobil sendiri, Marco." Jawaban Keyla membuat Marco mengangguk dengan bibir yang masih dilengkungkan ke bawah, hal itu membuat Keyla terkekeh geli melihatnya.

"Sebelum kau pulang, aku harus memberi tahumu hal ini, karena aku tak rela jika hanya aku saja yang mengetahuinya."

Keyla mengangguk menunggu kelanjutan kalimat Marco. "Kau ingat perempuan tua berambut putih di restoran Jepang kemarin? Yang kubilang suaranya menggelegar seperti badai halilintar di tengah lautan." Dengan ragu, Keyla mengangguk karena ia sadar bahwa Marco tidak tahu bahwa dirinya bukanlah Letta.

Keputusan mengangguk menanggapi Marco adalah keputusan yang disesali Keyla. Karena dengan hal kecil itu, ia sudah terjerat dalam sandiwara yang tidak baik untuk mereka bertiga. Letta, Marco, dan dirinya.

"Aku menceritakannya pada kawan-kawan di kelasku, dan kau tahu? Dia adalah nenek dari Giden! Awalnya aku tak percaya, tapi Giden menunjukan foto neneknya dan benar saja, itu adalah foto perempuan tua berambut putih yang kita bicarakan kemarin. Astaga aku malu sekali! Persahabatanku dan Giden bisa hancur karena hal itu!"

Keyla terbahak melihat ekspresi Marco yang menunjukan wajah penuh penyesalan, seperti manusia penuh dosa yang sedang meratapi kehidupannya. "Kau tenang saja, Giden hanya akan membencimu, menghapus namamu dari daftar sahabatnya, menghapus nomor ponselmu, dan memblokir semua akun sosial mediamu. Santai saja, hanya itu yang akan dia lakukan."

"Astaga kau benar. Yang kau katakan itu hanya semua kemungkinan yang akan terjadi.... membuangku dari kehidupannya. Kau tidak asik, Letta!"

"Hahaha hey! Aku hanya memudahkanmu untuk memperkirakan apa yang akan dilakukan Giden nantinya, jadi nanti kau tak perlu terkejut lagi karena aku pernah mengatakannya untukmu, dan kau harus bisa mengambil sikap apa yang tepat ketika sahabatmu melakukan salah satu, atau bahkan semua hal yang kusebutkan tadi."

Marco hanya menatap Keyla dengan tatapan yang membuat gadis itu kian menghentikan ucapannya karena terlalu gugup. "Kenapa kau berhenti bicara? Aku mendengarkanmu."

"Kau menatapku, aku malu ditatap seperti itu." Keyla langsung membekap mulutnya karena ia kelepasan mengatakan apa yang ada di dalam hatinya. Hal itu membuat Marco terkekeh yang kekehannya pasti akan Keyla simpan baik-baik di ingatannya.

"Baiklah kalau begitu, mau kuantar sampai ke mobil?" Masih dengan tatapan yang sama, Marco berkata masih diiringi senyum yang sama. Keyla menahan nafasnya, sebegitu besarnya rasa sayang Marco pada kembarannya, sebaiknya ia tak perlu khawatir nanti Letta akan tersakiti karena pemuda ini. Lihat saja, tatapan seperti itu yang selalu ia berikan! Dirinya bisa mati mendadak kalau menjadi Letta.

Tawaran Marco dijawab dengan gelengan oleh Keyla, yang kemudian diangguki oleh Marco seraya terkekeh. Siapapun tolong! Sepertinya pasukan oksigen di atmosfer mulai menipis hanya karena kekehan pemuda di hadapannya itu!

"Aku duluan ya." Keyla mengangguki izin Marco.

Seiring dengan langkah kaki kekasih Letta, jantung Keyla berdegup dengan tidak sopannya. Membuat sang pemilik tubuh merasakan panas di sekujur tubuhnya. Relakah Letta jika ia berlakon di hadapan Marco bahwa ia adalah Letta?

Astaga! Tidak!

***

Keyla mencari-cari letak ponsel Letta, kembarannya itu tidak pernah membawa serta ponselnya ketika berobat karena ia pikir ponselnya tak akan berguna di sana nanti.

Setelah menemukannya, Keyla langsung berselancar di kontak Letta, dan menemukan nama seseorang yang membuat jiwanya seolah melayang dari tubuhnya setiap saat. Marco.
Jahat. Keyla menyadari bahwa dirinya jahat, karena ia mengelabui kekasih kembarannya sekaligus kembarannya. Tapi setiap manusia memiliki jalan pikirnya sendiri, dan sikap egoisme itu pasti ada. Keyla merelakan Marco menjadi milik Letta, namun ia juga ingin merasakan jadi kekasih Marco.

Ya, dia memutuskan untuk berlakon menjadi Letta selama sebulan ini.

Keyla menyimpan nomor Marco di ponselnya, kemudian dengan tangan yang bergetar hebat ia mencoba mengetikkan sesuatu.

"Hey, simpan nomor baruku! -Letta."

Setelah menekan tombol kirim, jantungnya kian berdetak lebih kencang dari sebelumnya karena hanya jeda beberapa detik saja, Marco sudah membalas pesannya.

"Tentu saja, Love."

Nafasnya kian menderu setelah membaca pesan balasan dari Marco. Tanpa memikirkan efeknya di masa yang akan datang, Keyla mencari-cari kalung Yang milik Letta dan mengganti kalung Yin yang terpasang di lehernya.

Keyla menatap cermin di hadapannya.

"Aku benar-benar serupa denganmu, Letta."

tbc

BraggerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang