Sean berjalan tertatih sambil dipapah oleh Kris menuju IGD di sebuah rumah sakit swasta. Perutnya terluka akibat benda tajam yang ditusukkan padanya di parkiran,saat hendak pulang dari kampus.
Pelakunya tidak lari malah menyerahkan diri pada polisi sambil menangis tersedu-sedu dan mengaku bersalah karena telah membuat Sean terluka.
Sean sendiri tidak berniat menuntut pelaku itu,justru ia merasa sedih terhadap orang yang telah melukainya,dan berniat minta maaf padanya nanti setelah Sean selesai merawat lukanya.
Sean memegangi perutnya,darah segar menempel di tangannya dan di tangan temannya,Kris. Mereka tiba di rumah sakit elite tempat kakak Kris bekerja.
Tiba di pintu masuk mereka disambut oleh 2 suster cantik memakai seragam putih dengan kombinasi biru muda di bagian leher dan lengannya. Mereka membawa sean dengan ke dalam ruangan serba putih dengan tutup pintu kaca yang buram.
Kris menunggu di luar dengan cemas,ia mengabari kakaknya yang tengah bertugas disana. Kakak Kris masih belum bisa mendatangi adiknya yang sedang gelisah sendiri sebab masih ada tugas menjadi asisten dokter utama ke ruang operasi.
Kris merasa dilema antara ingin mengabarkan tentang Sean pada Ayahnya atau tidak. Lagipula sekarang Ayah Sean sedang sibuk bekerja tidak mungkin memegang ponsel,sementara jika tidak mengabarinya Kris takut terjadi sesuatu yang di luar dugaannya.
Sementara Sean malah tersenyum geli di dalam ruangan serba putih itu,saat 2 suster cantik menyuruhnya membuka baju.
"jangankan baju,celanapun akan kubuka". Goda Sean pada mereka berdua,yang membuat keduanya tersipu malu.Seorang dokter muda yang begitu tampan,sangan tampan,kelewat tampan bagi penglihatan Sean,masuk ke ruangan.
Hingga 15 detik Sean masih terpaku pada wajah tampan di depannya, jika dilihat dari penampilannya dia bukanlah seorang dokter ia lebih cocok sebagai bintang iklan, cover majalah atau menjadi anggota boyband yang diteriaki histeris oleh penggemarnya, apalagi dengan wajah kecil, bibir sexy, rambut coklat, dan adam apple yang naik turun tiap kali ia berbicara dengan kedua suster di sampingnya. Jangankan para wanita bahkan Seanpun ingin berteriak histeris kala melihat wajahnya, jika tak ingat mereka sekarang tengah berada di rumah sakit.
Dokter itu menatap Sean dengan wajah datar, kemudian melihat lukanya, lalu menyuruh suster membawakan beberapa peralatan yang dibutuhkan.
"Dok ... bolehkah aku bertanya?"tanya Sean pura-pura serius.
"Hm"jawab dokter itu singkat.
"Berapa umurmu?"
Dokter muda itu mengernyitkan dahi,menatap Sean bosan."Aku dua puluh tiga tahun, apa Kau seumuranku? oh tidak pasti kau lebih muda dariku," ucap Sean lagi.
"Sudah tua masih ceroboh," gerutu dokter itu sambil mengobati luka Sean agar steril sebelum dijahit.
"Masih kecil sudah jadi dokter," jawab Sean dengan senyum menggoda.
Mendengar itu, si dokter melirik Sean dan menatapnya dengan ganas. Bukannya takut, Sean malah tersenyum dan berucap.
"Kalau kutau rumah sakit ini memiliki dokter sepertimu, setiap hari aku akan kemari untuk mengobati luka"
"Konyol" hanya kalimat itu yang keluar dari mulut dokter itu menanggapi gurauan Sean yang semakin menjadi.
"Kau tau, hampir setiap hari aku terluka begini, kadang bahu, kadang leher, lebih sering bibir, karena wanita-wanita itu sering melampiaskan kegilaannya padaku"
"Bosan," jawab dokter itu singkat masih dengan raut wajah datar.
"Jika semua dokter di rumah sakit ini berwajah datar sepertimu saat mengobati pasien, aku yakin akan banyak pasien yang meninggal akibat gagal jantung," goda Sean lagi tak ada niat untuk menyerah.
"Jika kau tak berhenti bicara, bukan hanya perutmu, mulutmu juga akan kujahit," tukas dokter itu yang membuat Sean terkekeh.
"Akhirnya kau menjawab dengan kalimat yang panjang...." Sean tertawa dengan keras.
"Apa aku harus diopname?"tanya Sean lagi.Dokter itu tidak menjawab, hanya menyerahkan berkas pada salah satu suster kemudian pergi tanpa menoleh sedikitpun pada Sean yang meneriakinya.
"Hei siapa namamu? nomer hapemu?"
Aneh sekali seharusnya dia memakai name tag di dadanya, apa dia dokter magang di rumah sakit ini?Belum sempat Sean bertanya pada dua suster yang merawatnya, salah satu wanita cantik yang lebih tinggi itu menyerahkan lembar resep obat yang harus Sean tebus di apotik, tidak memberikan kesempatan untuk Sean berbicara.
"Di dalam catatan ini ada obat untuk mengeringkan luka, gunakan dua kali sehari"
"Untung lukanya tidak dalam, jadi anda bisa langsung pulang"
"Lagipula dokter tidak suka melihat anda berlama-lama disini," sambung yang satunya lagi."Hei, apa maksudnya itu?kenapa dokter itu diskriminatif sekali?" teriak Sean kesal yang diacuhkan oleh dua suster cantik itu yang kemudian keluar ruangan meninggalkan Sean sendirian.
Selesai mengurus administrasi dan membayar biaya perawatannya, Kris kemudian membawa Sean ke mobilnya.
"Kakak sedang sibuk di ruang operasi,tidak bisa menjengukmu kemari," ucap kris, tapi Sean tidak terlalu fokus pada ucapan Kris, ia masih terbayang wajah dokter tampan yang merawatnya barusan, pesonanya mengalahkan dua suster cantik yang bertubuh putih langsing yang selalu tersenyun padanya.
"Sean kau tidak apa-apa?"tanya Kris lagi. Sean hanya mengangguk pelan.
Tidak biasanya Sean jadi pendiam seperti ini, biasanya ia cerewet dan banyak tingkah."Obatnya sudah kutebus, ayok sekarang kita pulang, aku sudah lapar"
Sean masih diam menanggapi ucapan Kris, membuat tanda tanya besar di benak temannya itu."Apa kau khawatir tentang ayahmu?" tanya Kris mencoba mencari tahu penyebab kebisuan Sean.
"Apa kau memikirkan dia(seseorang yang telah mencelakai Sean)?"
"Sedikit, bagaimanapun dia tidak sepenuhnya bersalah?"
"Apa kau sudah menyuruh pengacaraku untuk mencabut gugatan?"tanya Sean dengan mimik khawatir.
"Nelum" jawab Kris membuat Sean mengernyitkan dahi.
"Aku takut Ayahmu tau dan mengamuk padaku"
"Masa bodoh biarkan saja dia sibuk dengan urusannya, dia tidak akan pulang hingga sebulan kedepan, entah apa dia sudah beristri lagi di Amerika" gumam Sean dengan raut wajah penuh penyesalan. Menyesal karena disaat-saat seperti ini tidak ada sosok ibu yang menemaninya. Sedang ayahnya lebih sibuk mengurus bisnis daripada mengurus dirinya.
Beruntung ada Kris, dia teman Sean sejak kecil, ayahnya dan ayah Sean berteman dekat, mereka juga bertetangga. Namun kehidupan Kris lebih nyaman menurut Sean, dia masih memiliki ibu dan memiliki kakak laki-laki yang sangat menyayanginya.
Sedang Sean hanya sendirian di rumah mewahnya,walaupun segala fasilitas dan kemewahan yang ia miliki Sean merasakan hidupnya hampa. Sean sering menginap di rumah Kris bila Ayahnya sedang di luar kota. Ibu Kris sudah menganggap Sean seperti anak sendiri.
*****
Cerita ini dibuat pas aku lagi di RS jagain adik yang sakit,waktu itu cuman 487 kata
Nah sekarang lagi ada di RS untuk yang kedua kali dan selesai satu chapter.
Ternyata inspirasi bisa datang dimana saja.
Sekalian mohon doa buat kesembuhan Ayah.
Terimakasih🙏🙏🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Rescue My Heart (end)
FanfictionHati, jika kau sakit tunjukkan padaku seseorang yang bisa mengobatinya. Sean Xiao.