Voment yaaa~
Aresha pernah mendengar sebuah kutipan tentang perihal memaafkan untuk berdamai dengan keadaan. Dan karena itulah, malam ini Aresha bisa duduk terdiam dihadapan sang ibu yang meminta bertemu. Sebenarnya sudah berulang kali Farah ingin menemui Aresha, sayangnya putrinya itu hanya mengabaikan semua panggilan juga kehadirannya. Farah hampir menyerah, keberangkatannya ke Solo tinggal dua hari lagi karena suaminya harus pindah dinas kesana, dan dengan bermodalkan doa dan kenekatan, Farah mencoba menghubungi Aresha sekali lagi. Sampai kemudian, doa dan keteguhan Farah berhasil melunakkan hati Aresha yang semula sekeras batu dan mau diajaknya bertemu seperti sekarang.
"Makasih karena Aresha mau ketemu sama mama." ucap Farah membuka percakapan, "Mama tahu, mama ngerti kalo udah terlalu banyak sikap mama yang bikin kamu kecewa."
Aresha hanya menatap lilin yang menghiasi meja disana. Diamnya setenang udara, tapi tidak ada yang tahu bahwa perasaannya berombak seperti samudera.
"Mama gak akan bicara tentang papa kamu yang memang sudah punya istri sebelum kami bercerai, mama gak mau membela diri karena mama sadar ini pun salah mama. Mama ketemu kamu karena pengen kamu tau kalo mama gak pernah menganggap kamu kesalahanㅡmama nyesel, Re. Mama egois, terlalu egois sampai mikir kalo mama adalah orang yang paling menderita sama keadaan ini." jelas Farah dengan suara bergetar, "Tapi mama juga gak bisa meninggalkan om Fahmi yang selama ini nolong mama, nak. Reㅡ"
"It's okay." Aresha memotong ucapan Farah dengan cepat, "Enggak usah dibahas lebih lebar. Apapun penjelasan mama, pada akhirnya semua udah kejadian. Pada kenyataannya, aku udah ngelewatin ini bertahun-tahun. Aku gak mau ngomongin hal yang ngebuat aku lebih sakit. Aku mau hidup dengan baik, ma. Dan itu tujuan aku setuju ketemu mama malem ini."
Farah menatap Aresha lamat. Gurat kesedihan pada wajah Aresha tertangkap jelas olehnya. Semua yang dia lihat membuatnya merasa kesakitan. Dialah yang bertanggung jawab penuh atas hancurnya hati Aresha selama ini.
"Aku gak mau hidup dalam kebencian. Yang mama sama papa lakuin ke aku emang luar biasa nyakitin, tapi seseorang yang paling aku percaya pernah bilang ke akuㅡ" Aresha menjeda kalimatnya, lalu tersenyum saat mengingat ucapan Genta, "Aku gak akan pernah bisa ngubah apa yang udah kejadian. Dan, satu-satunya obat buat nyembuhin sakit dari buruknya masa lalu itu dengan yakin kalo itu bukan luka tapi sebuah pelajaran. Jadi, aku anggap semua itu cuma bagian dari proses pendewasaan, ma. Aku maafin mama."
"Makasihㅡ" Farah masih menatap Aresha tidak percaya sembari menggenggam kedua tautan tangan putrinya itu erat, "Makasih, nak."
Tanpa bisa Farah cegah, air matanya berlinang membasahi pipi. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi untuk membalas ucapan Aresha. Siapapun orang itu, Farah ingin mengucapkan terimakasih karena menjadikan putrinya menjadi sedewasa dan selembut ini. Padahal dia tahu, semua yang terjadi pasti sangat menyakiti Aresha baik dimasa lalu ataupun sekarang. Tapi ternyata Aresha memaafkannya semudah itu.
"Mama kapan berangkat ke Solo?"
"Lusa. Aresha ikut mama, ya?" tanya Farah penuh harapan, "Kalo kamu gak mau nerima kiriman mama lagi, kamu ikut mama ya, nak?"
Aresha menggeleng, "Aku tetep disini, ma. Aku punya kehidupan disini yang gak bisa aku tinggalin gitu aja."
Senyuman Aresha terlihat semu, "Rumah Re ada disini."
"Mama gak tega kamu kerja gitu, om Fahmi nerima kitaㅡ"
Aresha menggeleng lagi, kali ini diikuti senyuman tipis yang berarti penegasan.
"Mama berangkat aja sama dia, aku bener-bener gak bisa ikut. Aku baik-baik aja, toh aku pun pengen belajar hidup mandiri pake uang dari kerja kerasku. Aku bisa kok, ma. Jangan khawatir." jelas Aresha final.
KAMU SEDANG MEMBACA
MorosisㅡKim Hanbin (Novel)
Teen FictionSome chapters are mature. Morosis (n.) the stupidest of stupidities "Re, gue mau kita selesai." "Tapi, Taㅡaku salah apa?" "Gue bosen." 190504 - 191214