Mak Comblang (7)

103 4 0
                                    

Mbok Nah berhenti di halaman rumah Ki Sabdo Santoso. Sebenarnya dia ingin bertemu dengan istri pria yang pernah menjadi kepala desa ini. Halaman rumah Ki Sabdo Santoso sangat luas yang di tanami rupa-rupa jenis pepohonan, dari pohon mangga, pohon melinjo yang masih pendek, serta kembang turi berwarna putih, mereka menggantung membentuk kelompok-kelompok dengan bijinya yang berbentuk polong menjulur sepanjang 20-25 cm. Mbok Nah terus berjalan memasuki halaman samping melewati jalan setapak dengan kembang kertas warna-warni sebagai pagarnya.

"Rum," Sapa Mbok Nah ketika matanya menangkap sosok seorang wanita yang membawa keranjang berisi tumpukan baju.

"Simbok," Rum nampak terkejut melihat Mbok Nah ada di hadapannya.

Mbok Nah tersenyum melihat anak gadisnya. Sudah hampir setahun mereka tidak pernah bertemu. Sejak anak itu pergi dari rumah Raden Ayu Tri Hapsari, dengan alasan ingin mencari pekerjaan di tempat lain.

"Mbok, apa yang membuat Simbok ke sini? Oh iya, bagaimana Sekar, Mbok? Apa dia sehat?" Rum bertanya setelah jarak mereka hanya beberapa depa.

"Adikmu baik-baik saja, dia bocah yang engga neko-neko lan manut. Oh iya, sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan dengan istri Ki Sabdo," ujar Mbok Nah. "Aku pernah mendengar, kalau istri Pak Sabdo itu bisa mencarikan jodoh. Tenanan, Rum?"

Rum tertawa, "Mbok-simbok... Simbok itu mau mencarikan jodoh untuk siapa, tho?"

"Yang jelas dudu kanggo kowelah, buat ndoroku,"

"Loh, ndoro yang mana, Mbok?"

"Raden Dimas Anggoro,"

Dada Rum serasa berdesir hebat, "Ra-Raden Dimas, bukankah dia sudah menikah?"

"Ceritanya panjang pokoknya. Makanya, aku pengen ketemu sama ndoromu. Secepatnya!"

Rum terdiam sesaat. Ingatannya tentang Raden Dimas Anggoro secara perlahan muncul. Ia ingat betul, ketika pertama kalinya Raden Dimas Anggoro pulang dari Bandung. Pria itu menyapa Rum dengan ramah. Perilakunya berbanding terbalik dengan Ibundanya, Raden Ayu Tri Hapsari. Selain berwajah tampan, Raden Dimas Anggoro memiliki tutur kata yang halus, baik hati, dan sopan. Rum sangat menyukainya. Bahkan, bukan hanya suka. Tapi, ia juga memiliki rasa kagum yang luar biasa.

"Rum, hayuuk cepetan, tho. Kok, kowe malah ndomblong, tho."

"Injih, Mbok," Rum tersentak, ketika suara Mbok Nah mengembalikan ingatannya. "Sebentar saya panggilkan. Mbok duduk dulu di sana, ya?" ujar Rum sambil menunjuk ke arah sebuah pendopo yang terbuat dari kayu.

Mbok Nah menurut, ia berjalan ke arah pendopo itu dan duduk di sebuah buk. Tidak lama seorang wanita menghampirinya. Wanita itu berbadan kurus, dengan wajah tirus. Ia memakai gincu merah dan menyanggul rambutnya tinggi-tinggi.

Wanita itu mulai menyapa dan menanyakan keperluan Mbok Nah dengan tidak sabar. Mbok Nah coba mengatakan maksud dan tujuannya datang menemui wanita itu. Dan, tentu saja ia tidak lupa mengatakan persyaratan yang di ajukan bendaranya, Oe Tan Yuan, tentang wanita yang bakal menjadi istri kedua Raden Dimas Anggoro.

Istri Ki Sabdo Santoso tampak manggut-manggut tanda mengerti. "Nanti tak kabari lagi, kapan tho persiapan pernikahannya?"

"Ya, secepatnya. Setelah dapat orangnya dan di rasakan cocok, pernikahan bisa makin cepat terjadi," ujar Mbok Nah.

"Dua hari lagi."

"Dua hari lagi?" Mbok Nah mengulangi pernyataan istri Ki Sabdo.

"Iyo, Dua hari lagi aku datang ke rumah Raden Dimas Anggoro."

Mbok Nah tersenyum,"Matur suwun sanget, njih,"

"Iyo," wanita itu berlalu meninggalkan Mbok Nah.

Setelah yakin ndoronya benar-benar pergi, Rum menghampiri ibunya.

"Mbok, bagaimana?" tanyanya.

"Dua hari lagi, ndoromu akan kasih kabar."

Rum manggut-manggut tanda mengerti.

"Wis tak mulih, yo."

"Injih, Mbok,"

Rum menatap kepergian simboknya. Wanita muda itu mulai menarik napas panjang. Entah, mengapa setiap ia mendengar nama Raden Dimas Anggoro, degub jantungnya mulai berdetak dengan cepat?

"Rum. Hayuk bangun! Sadar, Rum, kowe iki sopo," gumamnya sambil menepuk-nepuk kedua pipinya yang mulai terasa panas.

Bayangan Raden Dimas Anggoro berkelebat dalam pikirannya. Ia bisa mengingat bagaimana senyuman pria itu ketika menerima secangkir kopi buatan Rum. Pria itu selalu memuji, bahwa kopi buatan Rum adalah kopi terenak.

"Duh Gusti, perasaan ini bahaya," lagi-lagi abdi dalem Dinar Ayu itu berujar, "bagaimana cara aku menahan semua, ini?" Rum merasakan dadanya semakin sesak.

"Duh, Gusti. Nyuwon ngapuro," Rum mengelus dada. Ada rasa cemburu terselip di sana. Bahkan untuk menyaingi Oe Tan Yuan saja sudah tidak memungkinkan, apalagi di tambah dengan satu istri lainnya.[]

neko-neko lan manut: Macam-macam dan penurut

Tenanan

Dudu kanggo kowelah: Bukan untuk kamu

Ndomblong: bengong

Matur nuwun sanget, njih: Terima kasih sekali, ya.

Wis tak mulih, yo: sudah, saya mau pulang, ya

Kowe iki sopo: kamu itu siapa

Nyuwun ngapuro: minta maaf

Kaum BendoroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang