Lahirnya Sang Penerus (31)

227 9 3
                                    

Pagi itu, di kediaman Raden Kunto Aji, suara tangis bayi terdengar membahana. Rum telah melahirkan putra pertamanya. Bayi yang tampan dan sehat. Dimas Anggoro nampak bahagia, begitu pula kedua orang tuanya.

Dinar yang pagi itu tengah duduk di pendopo sambil membaca buku pun, menghentikan aktivitasnya, tatkala mendengar tangisan pertama dari bocah yang diberi nama Raka Aji Kameswara itu. Lama ia tertegun. Lalu menutup bukunya. Perempuan itu berjalan pelan memasuki kediaman Raden Kunto Aji. Ia melihat Raden Kunto Aji berdiri di depan pintu kamar Rum, yang pada akhirnya tinggal di rumah mertuanya itu.

"Mreneo, Nduk," laki-laki tua itu melambaikan tangan ke arah Dinar yang di balas senyuman oleh istri kedua Dimas Anggoro itu. Dinar mendekat dan berdiri di samping Raden Kunto Aji. Sepersekian detik, ia tertegun, ketika matanya menangkap gambaran Dimas Anggoro yang tengah menggendong bayi kecil itu sambil mengecup kening Rum.

"Rum, ada Dinar," suara Raden Kunto Aji mengagetkan Dimas Anggoro dan Rum. Keduanya serta merta menoleh ke arah Dinar yang tengah berdiri di depan pintu. Dimas Anggoro nampak kikuk begitu pula Rum.

"Sana, Nduk. Lihat anakmu," ujar Raden Kunto Aji sambil mendorong Dinar lembut. Dengan ragu Dinar berjalan menuju Dimas Anggoro, lalu menatap bayi mungil dalam gendongan suaminya.

"Duh Gusti... gantengnya," bisik Dinar. Dimas menatap ke arah Rum sesaat, lalu dengan ragu berujar, "Kamu mau menggendongnya, Din?"

Dinar menatap Dimas Anggoro, lalu mengangguk sembari tersenyum. Suaminya menyerahkan bayi mungil itu ke dalam gendongan Dinar. Mbok Nah yang kebetulan hendak masuk  sambil membawa segelas teh manis untuk Rum nampak terharu, saat menyaksikan bayi mungil itu dalam gendongan Dinar.

"Kamu ndak pengen, Din, kaya gitu," suara Raden Ayu Tri Hapsari terdengar di belakang Mbok Nah. Wanita itu masuk, dan merusak segalanya. Dinar terdiam.

"Din, kita tinggalkan Raka menyusu pada ibunya, ya," ujar Dimas Anggoro tiba-tiba, sambil mengambil bayi itu dalam gendongan Dinar lalu menyerahkannya pada Rum.

"Rum, istirahatlah dulu. Nanti aku kembali lagi untuk melihat Raka. Sementara, aku biarkan dia menyusu dulu," ujar Dimas kepada Rum, lalu menggandeng Dinar keluar.

"Dinar itu mandul," desah Raden Ayu Tri Hapsari. Raden Kunto Aji suaminya hanya geleng-geleng kepala, lalu meninggalkan kamar Rum, pergi ke kamarnya sendiri.

***

Dinar duduk di ruang kerja Dimas Anggoro dengan sebuah buku di atas pangkuannya. Ia menatap kosong ke arah rak yang dipenuhi oleh buku-buku. Tak lama, suaminya masuk sambil membawakannya segelas air madu. Laki-laki itu meletakkan gelas di atas meja, lalu mengambil buku dalam pangkuan Dinar dan diletakkannya di atas meja yang sama.

"Din," Dimas mengenggam punggung tangan Dinar.

"Rama... aku tak bisa memberikan apa yang ibu inginkan," desahnya.

"Sudahlah, Din. Kita sudah berusaha, kan?"

"Rama. Maafkan aku," Dinar menatap suaminya sendu.

"Sayang. Dengar, Tuhan selalu minta kita untuk berusaha, kan? Tapi, tetap saja perkara hasil ada di tangan-Nya. Siapa kita, Dinar? Kita ndak akan punya kekuatan untuk menciptakan manusia, karena kita bukan Tuhan," mata Dimas mulai berkaca-kaca. Ia membelai rambut Dinar.

"Rama... aku harus bagaimana? Apa kita harus adopsi anak. Katanya, kalau adopsi itu bisa mancing, loh..."

"Dinar... ndak, Sayang, ndak..."

"Lalu, harus bagaimana Rama?"

"Sayang, dengar... kamu ndak harus mikirin itu semua."

"Tapi aku..."

Kaum BendoroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang