RS Santa Monica (1)

741 16 1
                                    

Februari, 1981.

Sebuah ambulan berhenti di pelataran rumah sakit. Di dalam tubuh ambulan tersebut, nampak terbaring seorang perempuan di atas brankar dengan wajah pucat. Sesekali, perempuan berkulit putih itu menggigit bibir, menahan nyeri. Ketika ia merasakan ada tangan-tangan gaib yang meremas-remas perutnya, sedemikian rupa. Seorang laki-laki berusia 24 tahunan, duduk tepat di sisi perempuan keturunan Tionghoa itu. Kecemasan pun meliputi wajahnya yang tampan. Ia adalah Dimas Anggoro, seorang keturunan priyayi yang menikahi perempuan  di hadapannya setahun yang lalu itu, dikarenakan sebuah perjodohan.

Dua orang petugas rumah sakit dengan sigap menurunkan brankar dari dalam ambulan.  Mereka memasang selang oksigen kepada perempuan yang nampak lemah di atas usungan berukuran 200x 80x 88 cm itu. Sejurus kemudian, suara berdecit dari roda-roda yang mulai berkarat terdengar memenuhi koridor. Di belakang petugas, Dimas Anggoro berjalan cepat, mengikuti langkah kaki para petugas yang kemudian menghilang di balik pintu Unit Gawat Darurat.

Seorang petugas UGD menghampiri istri Dimas Anggoro. Ia memeriksa suhu, tekanan darah, serta menanyakan beberapa keluhan yang dirasakan perempuan itu. Sampai seorang dokter muda datang menghampiri.

"Bagaimana kondisinya?" tanyanya pada perawat yang melakukan anamnesis.

"Pasien mengalami perdarahan, Dokter. Ada riwayat endometriosis," jawab perawat perempuan itu cepat.

Dimas Anggoro menatap dokter muda itu, dengan tatapan mata penuh harap penuh harap. Yang ditatap pun balas menatap.

"Mas," ujar dokter muda itu. "Seperti yang pernah kukatakan dulu. Cepat atau lambat, hal ini bisa terjadi," terangnya pada Dimas Anggoro. 

Dimas Anggoro telah mengenal dokter muda itu, di hari pernikahannya dengan Oe Tan Yuan.  Laki-laki tampan berkulit putih itu merupakan  sahabat dekat  Yuan, istrinya. 

"Lalu, apa yang harus aku lakukan, Liu San?" tanya Dimas sembari menatap ke arah istrinya yang tengah terbaring dan  dokter muda itu, secara bergantian. 

"Sus, saya akan buatkan resep untuk mengurangi perdarahannya dan anti nyerinya dulu. Sebelum itu, bisa suster pasang infus terlebih dahulu, ya. Sambil menunggu, saya konsulkan ke dokter kebidanan."

Setelah memberi instruksi kepada seorang perawat yang semenjak tadi berdiri di sisi Yuan, Liu San memberi kode pada Dimas Anggoro untuk mengikutinya.

"Aku sudah pernah sarankan tempo hari, bukan? Apabila, terapi hormon yang diberikan selama ini tidak berjalan dengan baik, otomatis ia harus melakukan operasi," dokter muda itu kembali menjelaskan.

Dimas Anggoro bergeming. Lalu, menatap ke arah istrinya, yang semenjak tadi belum juga dipindahkan dari atas brankar. Bukan lantaran dalam unit itu tidak tersedia tempat tidur. Akan tetapi, sang pasienlah yang tidak mampu menggerakkan tubuhnya, karena menahan sakit. Wajah cantiknya acap kali meringis, sambil terus meremas perut. Terlihat beberapa perawat sibuk menanganinya.

"Kasihan Yuan kalau terus-terusan seperti itu," ujar Liu San, mematahkan lamunan Dimas Anggoro yang timbul sesaat lalu. Wajah laki-laki tampan itu pun kembali menampakan kebingungan dan putus asa.

"Dimas," Liu San kembali berujar, kali ini sembari menatap Dimas Anggoro lekat-lekat. "Pikirkan saja dulu baik-baik tentang saranku itu."

"Hmm... baiklah. Aku akan coba pikirkan kembali," jawab Dimas Anggoro pada akhirnya. Netranya menatap ke arah Oe Tan Yuan yang mulai nampak tenang secara berangsur-angsur, setelah salah seorang perawat memberinya obat anti nyeri melalui infusan.

"Kuharap kamu tidak terlalu lama berpikir. Walau saat ini Yuan nampak tenang. Namun jangan lupa, itu karena pengaruh anti nyeri yang kuberikan padanya," Liu San coba mengingatkan.

Kaum BendoroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang