Pertemuan Dinar Ayu dan Liu San (19)

126 3 0
                                    

Oe Tan Yuan berjalan melewati koridor rumah sakit yang nampak sepi. Pagi itu, ia terlihat cantik dengan baju bergaya bohemian. Langkah kakinya terhenti, tepat di depan sebuah pintu bertuliskan nama "dr. Adinanta". Pelan-pelan diketuknya pintu yang tertutup itu. Hening. Tidak ada satu jawaban pun terdengar dari dalam. Seorang perawat datang menghampiri.

"Selamat pagi, Nci?" sapanya ramah. Perempuan Tionghoa itu tersenyum, lalu mengangguk.

"Dokter Nanta sedang keluar sebentar. Tapi, beliau akan kembali, kok. Tadi, beliau berpesan Nci diminta menunggu sebentar. Menunggunya di dalam saja, ya?" Perawat itu membukakan pintu untuk Yuan.

"Kebetulan sudah tidak ada pasien lagi," sambungnya sambil mempersilahkan istri tua Dimas Anggoro itu masuk.

"Terima kasih," ujar Yuan.

Perempuan itu berjalan pelan, lalu menarik kursi yang berada tepat di depan meja praktek sahabatnya. Ia duduk di sana sembari netranya menyapu ruang kerja Liu San.

Di atas meja, beberapa berkas pemeriksaan tersusun rapi. Buku-buku ilmu kedokteran berjejer di dalam rak, tepat di belakang kursi kerja.

Tiba-tiba, pintu terbuka. Seorang yang amat dikenalnya masuk, dengan senyum yang merekah.

"Hai, sudah lama menunggu, kah?" tanya laki-laki bermata sipit itu. Liu San masuk sambil menenteng snelli-nya.

"Tidak. Aku baru saja datang," jawab Yuan sembari tersenyum.

"Oh, syukurlah," laki-laki itu duduk di kursinya. "Jadi, bagaimana kabarmu, Yuan?" tanyanya ramah.

"Aku baik-baik saja. Hanya... akhir-akhir ini, aku, kok, merasa cepat sekali lelah, ya?"

Liu San menatap sahabatnya itu lekat-lekat, lalu tersenyum, "Bukan fisikmu yang sakit, Yuan. Tapi, mentalmu! Istirahatlah. Dan, jangan terlalu banyak berpikir."

Oe Tan Yuan menarik napas panjang, "Bagaimana aku tidak berpikir, Liu San."

Liu San tersenyum. Mata sipitnya membentuk sebuah garis lurus."Yuan... realita yang saat ini terbentang di hadapanmu adalah keinginanmu. Jangan pernah lupakan itu! Jadi, hal terbaik yang harus kamu lakukan adalah berusaha untuk berteman dengan realita yang kamu ciptakan sendiri."

Perempuan itu menatap Liu San. Lalu ia berujar, "Ah, ternyata semua itu sangat berat, Liu San. "

Liu San menarik napas panjang, "Yuan, hidup itu adalah pilihan. Kalau kamu tidak sanggup, kamu bisa akhiri, kok. Tapi, kalau kamu masih mau bertahan, kamu harus belajar menyelami segalanya. Apa pun kondisinya, tetaplah fokus pada hidupmu, pada kesehatanmu."

"Liu San, kamu tahu bahwa aku akan melakukan apa saja untuk Dimas Anggoro. Aku benar-benar tidak ingin dia berada dalam kesulitan. Aku selalu ingin membuatnya bahagia."

"Bukan dia yang berada dalam kesulitan, Yuan. Tapi kamu!" Liu San berujar.

"Ayolah. Kenapa kamu selalu sinis seperti itu." Yuan menatap jauh ke dalam mata laki-laki yang duduk di hadapannya.

"Yuan. Pernahkah kamu bertanya pada suamimu? Apa saat ini dia merasa bahagia dengan pernikahan keduanya? Apa dia bahagia dengan hadiah yang kau berikan?"

Yuan terdiam. Ia ingat bahwa pagi tadi ia mengalami obrolan yang tidak begitu menyenangkan dengan Dimas Anggoro, laki-laki itu begitu sinis terhadapnya. Perempuan itu nampak menarik napas panjang. "Entahlah," jawabnya lemah.

"Bicaralah dari hati ke hati dengan suamimu. Aku tahu, Dimas adalah orang yang baik. Dia sangat peduli padamu, itu sebabnya aku sangat percaya padanya."

"Baiklah. Aku akan lakukan."

Liu San tersenyum. "Ya. Sebaiknya kamu melakukannya."

***

Kaum BendoroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang