Pertemuan yang Menyakitkan (21)

95 4 0
                                    


Bunga teratai itu selalu nampak cantik di atas permukaan air sendang yang kehijauan. Dinar Ayu berdiri di sisi sendang, menatap kuncup demi kuncup teratai berwarna putih. Jantungnya berdebar tidak menentu. Sesekali dia menarik napas panjang, ada resah bergelayut di sana, di tiap hembusan napasnya. Sekelebat bayangan itu muncul. Di bawah pohon trembesi, sesosok perempuan tertawa. Di sisinya, seorang pemuda dengan lesung pipit tak henti menjaili. Gelak tawa bahagia itu, seolah angin sejuk yang meniup helai demi helai dedaunan. Air mata Dinar meleleh. Ia rindu masa itu. Ia pun rindu Dwi Sandhoro.

"Akhirnya kamu menemuiku, Din."

Sebuah suara yang nampak akrab di telinga Dinar terdengar dari balik punggungnya. Suara yang amat dia rindukan. Suara dari seorang pemuda yang nyaris membuatnya terjaga sepanjang malam, hanya untuk melawan kesedihan karena buah dari perpisahan.

"Mas Dwi," gumam Dinar sambil berbalik.

Dwi Shandoro dapat melihat mata perempuan yang pernah menjadi kekasihnya itu nampak sembab.

"Katakan padaku, Din, apa yang sebenarnya terjadi?" ujarnya tegas.

Dinar menunduk. Laki-laki itu dengan cepat menarik pergelangan tangan Dinar, hingga membuat perempuan di hadapannya itu mendekat padanya. Dinar menunduk. Menghindari tatapan laki-laki yang seolah-olah ingin mencengkeramnya itu. Dwi Shandoro tak berkata apa-apa, ia menunggu Dinar buka suara sembari menatap perempuan itu. Mata laki-laki itu nampak sedih. Senyum manisnya hilang sudah, ditelan kekecewaan yang tak mampu ia ungkapkan.

"Dinar...," ia mendesah pada akhirnya. "Apa yang telah kamu lakukan padaku?" tanyanya hampir seperti orang berbisik.

"Mas Dwi," suara Dinar bergetar. Perempuan itu mengangkat wajahnya, menatap mantan kekasihnya dengan mata berkaca-kaca.

"Dinar. Hingga detik ini, aku masih berharap, bahwa apa yang ku dengar, semuanya ndak benar."

Intonasi bicara laki-laki itu tetap sama; datar. Namun di matanya, nampak jelas kekosongan. Dwi Shandoro merapuh dengan sendirinya. Dan, itu membuat hati Dinar merasa sakit. Ia ingin merengkuh laki-laki itu. Tapi, perempuan berparas jelita itu tak memiliki banyak keberanian. Dinar menggigit bibir.

"Ya Tuhan, Dinar," Dwi Shandoro tak mampu bicara apa-apa lagi. Ia nampak resah sendiri. Antara marah dan geregetan. Dengan kasar ia layangkan tinjunya ke arah batang pohon trembesi.

Dinar memekik. Darah segar mengalir dari sela-sela tinju Dwi Shandoro. Lalu, laki-laki itu pun luruh dan mulai menangis. Dinar menarik napas panjang, "Duh, Gusti," desah Dinar dalam hati. Rasa sakit itu menjalar, menusuknya sedemikian rupa. Dwi Shandoro menangis, begitu pula Dinar.

"Mas Dwi... maafkan Dinar. Dinar mohon... ampuni Dinar..." ujar Dinar di hadapan laki-laki yang membuang pandangannya jauh. Laki-laki yang menghindar untuk memandang perempuan yang kini menangis di hadapannya.

"Cukup, Mas Dwi!" Suaa Yulis membuat mereka tersadar. Perempuan itu telah berdiri di antara Dinar dan kakak laki-lakinya.

"Dinar! Aku sudah bilangkan, kamu jangan pernah lagi dekati Mas Dwi. Apa kamu ndak dengar? Apa kamu tuli, hah!"

Dwi Shandoro menatap Yulis, Dinar beringsut mundur. "Yulis, dengarkan aku," ujar Dinar mengiba.

"Ndak ada lagi yang perlu kamu jelaskan, Din. Ndak ada! Pergi kamu dari sini!" Yulis membentak.

"Tapi Yulis, aku...," Dinar coba meraih tangan Yulis, tapi ditepis oleh perempuan berambut ikal itu. "Jangan sentuh aku! Aku peringatkan kamu!" ujarnya sambil menunjuk ke arah wajah Dinar.

Dinar menggigit bibir. "Mas Dwi...," mata Dinar mengiba menatap Dwi Shandoro. Namun, laki-laki itu nampak gamang, tidak mau menatap Dinar.

"Mas Dwi," Yulis berujar, "Ayo kita pergi dari sini. Dinar itu ndak pantas buat Mas!" Yulis menarik tangan Dwi Shandoro, justru ketika laki-laki itu mulai menatap Dinar dengan mata yang sendu.

"Mas Dwi, Yulis, kumohon tunggu dulu, biarkan aku menjelaskan semuanya," Dinar menarik tangan Dwi Shandoro.

Yulis dengan sigap mendorong Dinar hingga perempuan itu terjerembab. Dinar menatap Yulis.

"Aku ndak sudi punya teman seperti kamu, Dinar," Yulis menatap Dinar dingin, lalu dengan kasar menarik Dwi Shandoro pergi menjauh. Membiarkan Dinar terduduk di bawah pohon trembesi. Dinar pun kembali menangis.

Setiap momen itu terekam oleh mata Dimas Anggoro yang berada tidak jauh dari sana. Ia sengaja membuntuti Dinar. Entah mengapa, ada rasa khawatir mengganjal dalam relung hatinya, untuk perempuan yang telah menjadi istri keduanya itu.

"Pak Tik, anggap saja sampeyan tidak pernah melihat apa-apa, ya," ujar Dimas Anggoro .

"Injih, Ndoro," ujar Pak Tik.

Dimas Anggoro turun dari mobil lalu berjalan menghampiri Dinar Ayu. Ia berjongkok di samping perempuan itu, menggenggam tangannya, lalu menariknya bangkit. "Ayo kita pulang," ujarnya.

Dinar menatap Dimas Anggoro dengan wajah sedih. Rasa malu dan tidak enak membaur. Apakah suaminya tahu apa yang terjadi? Tapi, kok rasanya ndak mungkin kalau ia ndak tahu apa-apa.

Kenapa Dimas Anggoro begitu ngeyel untuk membuntutinya. Padahal, sejak awal Dinar berkeras tidak mau ditemani. []

Kaum BendoroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang