Hidup dan Perjalanan (33) (Complete)

419 9 5
                                    

Dua orang laki-laki berjalan menuju  pekarangan rumah yang terletak di tengah-tengah kebun kelapa sawit. Rumah berpagar bilah-bilah bambu itu nampak sepi. Salah satu dari laki-laki itu mengetuk pintu yang terbuat dari kayu mahoni berpernis. Tidak ada satu jawaban pun terdengar dari dalam.

Tiba-tiba, suara bel sepeda terdengar dari belakang punggung mereka. Serta merta, kedua laki-laki itu pun menoleh.

Nampak oleh keduanya, seorang laki-laki tengah menuntun sepeda memasuki halaman rumah. Laki-laki itu tertegun, ketika menyadari siapa yang datang mengunjunginya. 

"Siang, Pak. Saya mengantar Bapak ini," ujar Theo. Ia adalah laki-laki berusia sekitar 35 tahun, salah satu pekerja di kebun kelapa sawit yang dikelola oleh laki-laki yang tengah menuntun sepeda itu.

"Masih ingat aku?" tanya tamu yang di antar Theo. Ia merupakan seorang laki-laki dengan seragam loreng yang nampak pantas membalut tubuhnya.

"Dwi Shandoro," jawab laki-laki itu sembari tersenyum. Yang juga dibalas senyum oleh Dwi Shandoro.

Dimas Anggoro nampak tidak berubah. Meskipun sudah sekian lama mereka tidak bersua. Wajahnya masih sama teduhnya, hanya kulitnya saja yang sedikit gelap. Namun karenanya, ia semakin terlihat matang.

"Lama tidak bertemu," ujar Dwi Shandoro.

"Boleh saya permisi pergi," Theo memohon izin.

"Baik, terima kasih, Pak. Sudah mengantarkan teman saya," ujar Dimas sambil tersenyum. Theo pun pergi meninggalkan mereka berdua. "Ayo, masuklah dulu," ujar Dimas sambil menepuk punggung Dwi Shandoro lembut.

"Bagaimana sampeyan tahu, kalau aku ada di sini?" tanya Dimas sambil meletakkan secangkir kopi di atas meja.

"Dinar minta tolong aku untuk mencari sampeyan," ujar Dwi shandoro.

Dimas Anggoro terdiam. Laki-laki itu menarik napas panjang.

"Kenapa sampeyan sangat menyusahkan? Seharusnya sampeyan memberi kabar pada Dinar."

"Iya. Ini salahku. Ternyata hidup di luar itu ndak mudah, Mas," ujar Dimas Anggoro sambil tersenyum.

"Sepertinya, Dinar benar-benar mengalami masa yang sangat sulit," desah Dwi Shandoro.

Dimas terdiam. Terbayang wajah jelita istrinya dan si montok Raka, putra semata wayangnya dengan Rum. Lalu, bagaimana kabar Rum sendiri?

Rasa rindu akan keluarganya mulai bergelayut dalam palung hatinya. Dan, rasa itu menendang-nendang sedemikian rupa.

Obrolan demi obrolan mengalir antara Dwi Shandoro dan Dimas, hingga waktu beranjak senja. Dwi Shandoro pun pamit. Dimas  berinisiatif mengantar mantan kekasih Dinar itu hingga ke jalan utama dengan sepeda motornya.

***

Di kediaman Raden Ayu Tri Hapsari, nampak pak Triman, Raden Ayu Tri Hapsari, Raden Kunto Aji, Mbok Nah serta Dinar tengah berkumpul.

"Jadi, kamu sudah tahu di mana Rum, Man?" tanya Raden Ayu Tri Hapsari kepada Pak Triman, supir kepercayaan Dimas Anggoro.

"Injih, Ndoro. Tapi..." Pak Triman nampak ragu

"Tapi, kenapa, Pak?" tanya Dinar.

"Anu, Ndoro. Rum bekerja di Surabaya."

"Lalu, kenapa? Kita masih bisa memintanya untuk melihat Raka sebentar, kan? Setelah itu, dia bisa bekerja lagi," ujar Dinar.

"Sek, Pak," Mbok Nah menimpali, "Sampeyan bilang kerja di Surabaya?"

Pak Triman menunduk. Mbok Nah nampak berpikir sesaat. Dinar menatap Mbok Nah.

Kaum BendoroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang