Seorang Lelaki di Bawah Pendopo Kecil (11)

104 4 0
                                    

Dinar berdiri di balik pohon besar, di alun-alun kota Madiun. Sebelum, tiba-tiba hujan mengguyur. Seolah tersadar bahwa rintik hujan itu tidak sedang main-main, Dinar pun berlari menuju pendopo kecil untuk berteduh.

Wanita itu menatap jauh ke langit sana, "Ahh... terlalu menyedihkan. Hujan turun ketika aku menangis. Seharusnya aku berlari di tengah hujan, agar mereka tak mampu melihat air mataku," gumamnya.

Kembali, diingatnya obrolan yang terjadi antara dia dan Yulis. Tentang perasaan Dwi Shandoro, kekasihnya. Bukankah pria itu sangat mencintainya? Pria itu begitu memanjakannya. Ah! Langit pun seolah berpihak padanya. Titik-titik hujan itu adalah bagian dari siluet rasa hatinya, tatkala bayangan wajah Dwi Shandoro, kekasihnya, muncul tiba-tiba. Langit menumpahkan air begitu deras, sederas air matanya dan sekencang keinginannya untuk mencakar dunia yang tak berpihak padanya.

"Gusti," Dinar mengelus dada, "apa yang Engkau rencanakan? Kenapa aku harus mengalami hal seperti ini?" Dinar menghapus air matanya yang luruh kembali dengan punggung tangan. "Mas Dwi, kenapa sampeyan harus pergi? Walaupun, semua yang sampeyan lakukan berhubungan dengan masa depan kita. Empat bulan. Bukanlah waktu yang sebentar. Apa pun bisa terjadi, Mas. Dan, sampeyan tahu apa yang terjadi padaku?"

Ada rasa nelangsa yang teramat sangat. Rasa yang membuat Dinar ingin menjerit, berteriak, maupun memaki. Rasa yang membuat hatinya campur aduk. Sedih, marah, kecewa, dan terluka.

Dimas Anggoro! Bukankah itu adalah nama yang tadi disebut-sebut oleh Yulis. Nama yang tiba-tiba membuat Dinar Ayu begitu ingin membenci seseorang. Satu nama yang memaksanya untuk menyerah pada keadaan. Dia benci Dimas Anggoro. Sangat membencinya. Pria seperti itu seharusnya tidak pernah ada di muka bumi ini. Pria yang tega memaksa istrinya untuk berpoligami. Pria yang tak mampu menghargai wanita. Pria hidung belang yang mengandalkan kekayaan untuk mengincar wanita. Pria sialan!

Dinar Ayu terus sibuk memaki Dimas Anggoro dalam pikirannya. Tiba-tiba, seorang pria berlari cepat ke arahnya. Karena tidak terlalu memperhatikan jalan, pria itu hampir saja menabrak Dinar. Wanita bermata bulat itu memekik karena kaget. Ia hilang keseimbangan, kakinya terpeleset sisi pendopo yang agak licin. Namun, dengan sigap pria itu melingkarkan tangannya ke pinggang Dinar lalu menarik tubuh wanita itu. Hingga tubuh mereka menyatu.

Dinar terdiam, dia masih merasa kaget. Tak sengaja bibirnya menempel di jas putih pria yang tengah terpaku sambil menatap ke arahnya dengan matanya yang sipit. Seolah tersadar, Dinar dengan cepat mendorong pria itu menjauh darinya. Namun, Dinar malah kehilangan keseimbangannya kembali, sehingga ia terjerembab di atas genangan air. "Ah...," Dinar bergumam.

Pria itu hanya beringsut mundur sedikit, lalu menatap Dinar sambil menghela napas panjang, "Mungkin dia memang sudah di takdirkan untuk jatuh dalam genangan air hujan," gumamnya dalam hati. Lalu, pria yang ternyata adalah si tampan Liu San mengulurkan tangan ke arah Dinar.

"Bangunlah, mari," ujar Liu San dengan senyumnya yang khas.

Dinar dengan pasrah mengambil uluran tangan pria itu. Baju putihnya kotor. Dia pun basah kuyup. Dinar berdiri di hadapan pria itu sambil cemberut. "Kalau bukan karena kamu, ini semua ndak akan terjadi," ujarnya jengkel.

"Loh, apa salahku?" Liu San menatap wanita cantik di hadapannya. "Dua kali," ujarnya sambil membentuk angka V dengan jarinya, "Aku telah menolongmu dua kali, loh. Bukannya kamu berterima kasih. Tapi, kamu malah menyalahkan aku."

"Terus... aku harus salahkan siapa? Tuhan? Karena Dia telah mengirimkan hujan dan membuatmu berlari ke arahku," jawab Dinar sengit.

Pria itu tertawa, "Hei, Nona! Ini tempat umum. Siapa saja berhak untuk berteduh di sini."

Kaum BendoroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang