Kembalinya Dwi Shandoro (20)

91 3 1
                                    

Stasiun Madiun, Mei 1981

Seorang laki-laki berseragam TNI lengkap berjalan di antara lalulalangnya pengunjung di stasiun Madiun. Beberapa penjaja nasi rames dan telur asin menawarkan jualannya pada laki-laki manis berlesung pipit itu yang dibalas dengan gelengan kepala. Laki-laki itu berjalan cepat menuju pintu keluar. Badannya yang tegap, nampak pantas dengan Pakaian Dinas Harian (PDH) hijau dengan nametag bertuliskan "Dwi Shandoro".

Sebuah becak berhenti tepat di depannya, ketika laki-laki itu telah keluar dari hiruk-pikuknya stasiun dan suara-suara nyaring penjual nasi rames, telur asin, sambal pecel, dan brem. Pengayuh becak membawanya melewati jalan besar menuju RS Santa Monica, yang berada tidak jauh dari alun-alun kota.

Setelah membayar, laki-laki berhidung bangir itu pun langsung bergerak cepat memasuki selasar rumah sakit. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang perempuan tua yang tengah berjalan sambil dipapah oleh seorang perempuan muda. Mereka berdua menangis. Di hadapannya, dua orang petugas kesehatan tengah mendorong brankar dengan tubuh yang tertutup linen putih. Perempuan muda yang tidak lain adalah Yulis nampak tertegun sesaat, ketika melihat sang kakak berdiri di hadapannya. Serta merta perempuan tua yang sedari tadi di papahnya, menghambur ke arah laki-laki itu. Perempuan itu menangis sembari memeluk putranya.

"Bapak ndak ada lagi, Le. Bapak sudah pergi," di antara isak tangis, perempuan itu berujar. Dwi Shandoro tidak mampu berkata apa-apa, ia hanya mengusap-usap punggung perempuan yang dipanggilnya ibu itu dengan perasaan sedih. "Bahkan, bapak ndak mau menungguku," ujarnya dalam hati.

***

Sinar matahari menyusup dari celah-celah bambu yang tumbuh sebagai pagar pembatas pekuburan yang letaknya 100 meter dari perkebunan tebu. Kembang setaman telah di tabur di atas pusaran makam laki-laki tua renta, ayah Dwi Shandoro. Orang-orang yang mengantar dan ikut andil dalam mendo'akan, telah kembali ke rumah masing-masing. Tinggalah Dwi Shandoro dan dua perempuan yang tersisa, Yulis dan ibunya.

"Bu, ayo kita kundur," ujar Dwi Shandoro. Ia bangkit sambil memapah perempuan tua yang sedari tadi duduk berjongkok di sampingnya. Yulis bangkit terlebih dahulu. Lalu menunggu ibunya berdiri dengan tegak. Mereka pun berjalan pelan meninggalkan tanah pekuburan itu.

Senja berganti malam. Dwi Shandoro duduk di halaman rumah. Masih terekam dengan jelas di kepalanya, laki-laki tua itu sering menghabiskan waktu di sini, di pelataran rumah. Dalam kegamangannya, tiba-tiba bayangan Dinar Ayu berkelebat hadir. Rasa rindu pun mulai bergelayut jauh dalam relung hatinya.

"Mas, ini kopinya," suara Yulis mengejutkannya.

"Yul, hari ini aku, kok, ndak ngelihat Dinar, ya? Dia tahu, ndak, kalau bapak mangkat?"

"Mulai sekarang, Mas Dwi ndak usah tanya-tanya atau bicara tentang Dinar lagi. Dia sudah ndak ada, Mas," ujar Yulis sewot.

"Loh, maksudnya gimana, Nduk? Kamu berantem, ya, sama Dinar?"

"Ndak. Tapi, Yulis benci sama Dinar. Pokoknya, Yulis ndak mau Mas Dwi berhubungan lagi sama perempuan itu!"

Dwi Shandoro termangu. Yulis berlalu begitu saja, setelah bicara seperti itu. "Ada apa sebenarnya?" ujar laki-laki berlesung pipit itu dalam hati.

***

Jarum jam menunjukakan pukul 10.00 pagi. Matahari mulai naik sejak pagi tadi. Menyebarkan hangat. Dwi Shandoro berada di depan halaman rumah Dinar. Laki-laki itu benar-benar bingung melihat kelakuan Yulis, tapi juga merasa heran dengan Dinar. Bagaimana mungkin, kekasihnya itu ndak datang ke pemakaman ayahnya? Walaupun mereka sedang marahan, seharusnya ia bisa merasakan kesedihan Dwi Shandoro. Atau, mungkin dia tidak tahu, tapi, kok, aneh. Bukannya, hubungan ibu mereka sangat dekat?

Kaum BendoroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang