Prolog

62 11 0
                                    

"Larilah! Cepat lari...!" Ayah meneriakiku meskipun raganya tak lagi tertangkap oleh mata.

"Kamu tidak dengar? Atau kamu memang berniat mati hari ini?" lelaki itu menatapku penuh kemenangan. Mantel panjang beludru, dan rambut panjang yang mengagumkan. Dia berdiri di tengah lantai yang berisi kursi sakral, matanya memancarkan berbagai warna yang berbeda, Buas.

"Terserah! Aku tidak peduli... Cepat atau lambat, kamu akan tetap melakukannya. Tapi, tolong ... lepaskan AYAHKU!" aku berteriak dengan susah payah, kakiku terlipat kebelakang bersama kedua tangan dengan tali tak kasat mata yang dikendalikan olehnya. Mulutku mulai terbatuk dan memuntahkan sebercak darah segar.

"Tidak! Tidak! Jangan bunuh dia!!" suara ayah masih saja terdengar, namun tetap tak kutemukan keberadaannya. Kutatap setiap inci bangunan megah ini, berharap dapat mengetahui arah suara itu. Aku tidak bisa kehilangan ayah, tidak bisa!.

Sejak kecil, aku selalu memikirkan ... Bagaimana burung-burung merpati yang biasa datang di pinggir jendela tiba-tiba hilang, atau anak-anak kambing yang dulunya selalu kuajak bermain berubah jadi santapan pesta saat mereka dewasa. Terutama, saat wanita yang kupanggil Bunda, dikubur dalam tanah oleh para Elf.

Semua kenangan semacam itu, kusebut sebagai—kehilangan.

Sejak konsep itu kukenal, aku memutuskan untuk tidak ingin kembali merasakannya. Bahkan, aku lebih memilih menghilang dibandingkan kehilangan. Jadi tak masalah, jika aku harus mati hari ini. Asalkan, ayah tetap hidup.

"Manis sekali," tangan kiri lelaki itu terangkat dan mengarah padaku. Tiba-tiba, seluruh badanku terasa berombak. Pusing, dan sakit! Irama detak jantungku bahkan tak lagi terdengar, ini sangat menyakitkan.

"Uhuk, uhuk,"
Darah segar kembali mengucur dari mulutku, kali ini jauh lebih banyak. Ya! Bunuh saja aku! Bunuh!

Aku mulai kesulitan bernapas, dan tubuhku ambruk ke samping dengan keras. Kupejamkan mata, bersiap menemui ajal. Hingga, kulihat sepatu selop dari kulit harimau itu berhenti melangkah tepat di depan wajahku. Dia berjongkok, dan kurasakan ombak di dalam badanku sudah berhenti. Tapi, masih menyisakan sakitnya yang luar biasa. Darah kembali merembes, kali ini dari hidungku.

"Bagaimana? Kemampuanku naik beratus kali lipat dari sebelumnya bukan?" aku hanya mampu mendengarnya. Mataku sudah tak sanggup lagi untuk terbuka.

"Ah, kasihan sekali... Baiklah!" kurasakan pergerakannya. Dia berdiri sekarang, sedang napasku masih tersendat-sendat bersamaan dengan lelehnya darah dari hidungku. Pusing, aku sangat pusing. Rasanya lantai yang berada di bawahku berputar dengan cepat, dan kemudian longsor. Membuatku jatuh dalam kegelapan.

"Aku membiarkanmu hidup kali ini. Kuberi kesempatan untuk menyelamatkan ayahmu. Kembalilah, dan lawan aku. Tapi, jika sebelum itu kamu tertangkap oleh para cillary... Ahahah, aku sabar menunggu." suara lelaki itu menggema di telingaku. Bahkan di tengah kegelapan dan gerakan jatuh tiada akhir ini.

Tubuhku melayang, membuai seluruh rasa sakit yang menjalar. Mataku sangat berat dan aku tidak ingin mengingat apapun.

🔰

Uwuuuu...
Finnally cerita fantasi.
Aku sangat menyukai genre ini, tapi masih kebingungan jika harus menuliskannya. Kuharap dengan karya pertamaku di genre ini, bisa membawaku untuk belajar dan lebih baik lagi.

Berikan dukungan dengan menekan bintang di pojok, dan follow untuk mendapat notifikasi saat WP update. Tinggalkan komentar untuk memberikan kritik dan saran, atau kalimat penyemangat yang merupakan pendongkrak energi buat author.

Borahae 💜 i purple u

Wind PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang