3. Elijah

38 10 4
                                    

"Pak Karta bilang kalau aku ditemukan di pinggir toko kain di seberang jalan. Saat itu aku tidak ingat apapun, namaku, keluargaku, tempat tinggal, dan bagaimana bisa aku tergeletak di jalan. Semua hal itu kosong. Untung, aku tidak lupa cara berbicara, jadi aku bisa merespon orang lain dengan baik.
Awalnya, aku di urus Pak Karta di rumahnya yang sekarang di tempati Bapak tadi, yang menyapa kita."

Kau pikir, yang seperti tadi itu menyapa? Batinku, aku hanya tetap diam dan menunggu dia melanjutkan ceritanya lagi. Aku sudah senang, karena tanganku menjinjing plastik berisi bakso beberapa porsi ini. Ole sempat menawarkan untuk membawakannya, tapi aku bersikeras. Aku ingin membawa bakso-bakso ini, agar aromanya lebih dekat padaku. Bahkan, aku sempat berpikir akan meminta bagian Ivan sedikit saja nanti.

"Pak Badri namanya, Dia segera menempati rumah itu saat keluarga Pak Karta tiba-tiba pindah. Saat itu, aku sudah bisa mencari makan, menyewa rumah kost kecil yang jadi tempat pulang, setelah bekerja seharian di pabrik. Kadang, aku dapat panggilan dari polisi untuk penyelidikan. Kadang, warga juga memintaku membantu saat mereka kehilangan sesuatu. Yang entah bagaimana, aku selalu bisa menemukannya. Karena itu mereka memanggilku -Anak Anjing. Padahal sebelumnya itu hanya guyonan Pak Karta, saat benda-benda hilang di rumahnya bisa kutemukan." Ole menerawang langit dengan matahari yang cahayanya mulai menyengat. Sorot matanya tidak bisa menyembunyikan kerinduan yang entah mengapa nampak pedih. Sesekali dia menolehku yang berjalan di sampingnya. Mungkin, dia takut kalau-kalau aku pingsan di jalan, atau tersesat, mungkin.

"Hebat sekali, bagaimana caranya kamu menemukan benda-benda itu?" Aku masih tidak bisa menghilangkan pikiran tentang bakso di dalam plastik yang kutenteng, padahal kepalaku bertanya tentang cerita Ole yang nampak janggal. Karena lagi-lagi, bayangan Patra muncul sekilas. Tapi, aku tidak bisa melihat apapun yang tertulis di dalamnya.

Membuatku penasaran, benarkah Ole manusia?

"Aku sendiri juga tidak tahu." Jawab Ole sambil tersenyum, "Mungkin bakat dari Tuhan." Lanjutnya, dengan senyum yang semakin lebar hingga gigi-gigi kecilnya nampak berjajar.

Aku mengangguk-angguk, "Lalu, bagaimana dengan nama Ole? Apa itu nama aslimu?"

"Bukan,"

"Lalu, siapa kali ini yang memberikan nama itu? Keluarga Pak Karta?" Tanyaku penasaran, aku mulai sedikit melupakan bakso di tanganku. Atau tidak, karena nyatanya aku masih saja meliriknya sampai sekarang.

"Aku sendiri, haha." Ole menggaruk tengkuknya, seraya meringis. Aku menatapnya, menunggu dia melanjutkan.

"Awal di rumah Pak Karta, mereka tidak ada yang berusaha memberikan nama apapun padaku. Mereka hanya memanggilku, Tole, yang dalam bahasa Jawa berarti, anak laki-laki."

"Jadi, nama Ole berasal dari situ?"

"Senang rasanya, semua orang punya pikiran yang sama."

"Hm? Apa maksudmu?"

"Haha, sejujurnya ... Ini rahasia. Jangan cerita pada siapapun, oke?"

"Ah, oke ...."

"Ole- adalah namaku, karena aku ingin seperti Sele Ole yang renyah, gurih, manis, dan selalu bikin kangen. Tapi, aku tidak mungkin memakai semua nama itu, karena ... Semua orang akan menertawakanku. Jadi, aku hanya mengambil bagian belakangnya saja." Ole nyengir, dan wajahnya memerah.

"Apa itu Sele Ole?" Aku sama sekali tidak tahu apa yang dia bicarakan. Tapi, itu terdengar enak. Sejauh ini, makanan manusia selalu enak.

"Itu biskuit dengan selai manis di dalamnya. Aku memberi kalian untuk sarapan di hari pertama." Ole menjawab pertanyaanku ragu-ragu.

Wind PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang